Jumat, 26 Oktober 2012

NGELMU IKU KELAKONE KANTHI LAKU

Sisi Lain Ijazah Maiyah

Bagi orang awam, ijazah itu hanya simbol yang biasa digunakan dunia persekolahan bahwa seseorang telah mencapai derajad tertentu, entah itu lulus SD, SMP, SMA, diploma, sarjana, master, atau doktor. Dari konstruksi kalimat ini, ijazah bukan tujuan yang harus dicari seseorang, karena yang dicari adalah ilmu. Faktanya, kalimat ini tidak berlaku seratus persen. Lihat saja di dunia persekolahan di negeri ini ternyata banyak diisi oleh kaum akademisi yang logikanya terbalik, yakni ijazah menjadi tujuan dan penguasaan ilmu menjadi nomor kesekian belas. Karenanya dapat dipahami jika ijazah menjadi komoditas yang paling laris. Jual beli ijazah dapat dilakukan terang-terangan, maupun dapat dilakukan secara tersulubung.

Coba saja iseng-iseng bertanya kepada seorang murid atau mahasiswa, maukah mendapat ijazah namun tidak mendapat ilmu, atau sebaliknya mendapat ilmu namun tidak mendapat ijazah misalnya, maka mahasiswa tersebur akan bersorak dan koor bersama: ”Yo mesti jelas pilih dapat ijazah (meski tidak dapat ilmu)”. Demikian juga mahasiswa saya, melihat saya sangat rajin mengisi kuliah sehingga tidak pernah sekalipun kosong, mereka malah bertanya: “Lho pak kok gak pernah kosong?” Saya hanya bilang: “Apa kalian ingin tidak ada kuliah saja dan kalian langsung saya kasih ijazah kosong dan diisi sendiri nilainya, mau?” Jawab mereka juga serempak: “Yo mestiiii….” Lalu mereka tertawa dan bertepuk tangan bersama, riuh rendah.

Mengapa yang dicari ijazah? Karena ijazah juga bisa untuk bekal masuk pegawai negeri, sedangkan ilmu belum tentu. Buktinya untuk masuk pegawai yang ditanyakan juga ijazahnya, bukan penguasaan ilmunya.

Cara memperdagangkan ijazah secara tersembunyi juga marak dilakukan, misalnya dengan cara mengatrol nilai, baik karena kasihan agar tidak menjadi mahasiswa abadi maupun karena memang rendah mutu perguruan tinggi yang bersangkutan. Lihat kasus nyontek massal dalam ujian nasional. Wajar jika kepemilikan ijazah seseorang tidak berbanding lurus dengan akhlaknya. Yang terjadi justru hal yang aneh: makin tinggi ijazah yang dimiliki seseorang, makin tinggi pula tingkat kecanggihannya untuk mencuri (korupsi). Korupsi jelas hanya dapat dilakukan oleh orang yang berijazah tinggi dan bukan oleh tukang becak, blantik sapi atau buruh penggali sumur.

Karenanya, janji Allah hanya akan meninggikan beberapa derajad orang yang berilmu pengetahuan, dan bukan orang yang berijazah. Sialnya orang-orang Barat yang notabene secara formal tidak Islam dan tidak pernah membaca Quran, yang justru mengamalkan janji Allah ini. Terlepas orang-orang Barat tidak pernah bermujahadah, namun mereka sangat hebat berijtihad. Wajar untuk kapasitas tertentu, derajad mereka ditinggikan Allah. Penemuan-penemuan penting sebelum Revolusi Industri dilakukan oleh orang-orang bengkel dan bukan orang-orang persekolahan. Nama-nama seperti Graham Bell, Marconi, Wright Bersaudara, Thomas Edison, James Watt, dst adalah para praktisi bengkel yang rajin “iqro” dan tekun berjihad dan berijtihad. Jihad artinya bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita dan pemikirannya.

Sebaliknya kita, sangat rajin bermujahadah, namun sangat malas untuk beriqro dan berijtihad. Negeri ini sangat kaya ilmuwan dan ulama fiqh, dan sedikit ulama atau ilmuwan yang rajin iqro dan berijtihad. Al Quran yang mestinya sebagai sumber ilmu, hanya ditimang dan dilombakan dalam MTQ, meski ini juga tidak salah. Maksud saya alangkah indahnya jika Quran selain dibaca dan dilombakan secara indah dan estetis, namun juga digali ilmunya. Dalam kitab ini Allah menebar ilmu, entah itu ilmu biologi, kimia, geologi, astronomi, hukum, ekonomi, demokrasi, dst, sampai cara berdagang yang adil di pasar, cara memperlakukan batu dan rumut, bahkan cara bagaimana bersenggama yang santun pun Quran mengajarkannya.

Ilmu-ilmu geologi mutakhir yang dikagumi saat ini, ternyata sudah ada di Quran ratusan tahun yang lalu. Ayat-ayat tentang: “Apa kamu kira gunung-gunung itu tetap tegak berdiri di tempatnya?“, “Akan Aku (Allah) tumpahkah isi lautan“, dst, adalah ilmu-ilmu tentang kerak bumi dan tsunami yang saat ini matian-matian kita klaim sebagai ilmu yang baru dan sebagian belum terpecahkan.

Singkatnya, Barat yang rajin berijtihad namun kurang bermujahadah menjadi melenceng dalam menyikapi hidup. Akibatnya ilmu-ilmu yang tinggi justru merusak dunia, misalnya untuk mengeksploitasi, menjajah dan untuk berperang. Sebaliknya kita yang rajin bermujahadah, sangat jarang berijtihad, akhirnya hanya menjadi arif namun tidak memiliki keahlian atau kecerdasan untuk mengatasi dunia ini. Banyak kiai, ulama, atau intelektual yang hebat pengetahuan agamanya, namun tidak dapat membumi dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat. Mereka hanya sangat fasih bertentangan dalam hal apakah ketika berkutex itu sah wudlunya atau tidak, dibandingkan suntuk menggali samudera pengetahuan yang maha luas ini. Dua-duanya sangat tidak disukai Allah. Padahal Ad-Dzariat 56 sudah jelas perintahnya.

Mestinya yang disebut mahasiswa atau murid harus rajin iqro, jihad ber-ijtihad sekaligus ber-mujahadah. Ini laku yang maha penting. Dalam fiolosofi Jawa ada istilah “Ngelmu iku kelakone kanthi laku“. Kita tidak dapat menguasai ilmu dan memanfaatkannya jika tidak ikut berenang, berkontemplasi, serta mencari dengan kesungguhan. Dengan kata lain, yang namanya murid itu mestinya “berkehendak” sesuai asal kata “murid”. Namun yang terjadi orang bersekolah atau berkuliah, hanya menyodorkan otak kosong dan rendahnya kehendak untuk menguasai ilmu. Wajar jika plagiarisme menjadi santapan sehari-hari dunia pendidikan kita. Wajar lembaga-lembaga bimbingan tes atau pembuat skripsi/tesis/disertasi sangat laris bak jualan togel. Kalau tidak percaya, coba tanya seorang remaja yang bernama M. Ainun Nadjib, yang pada tahun 70-an, ketika usianya baru belasan tahun, sudah mampu membuatkan puluhan skripsi bagi para calon sarjana yang bodoh dan malas di Yogyakarta.

Sekarang kembali dan bandingkan dengan ilmuwan Barat. Mereka mengamalkan Quran dan falsafah Jawa tersebut dengan baiknya. Mereka rajin “iqro”, untuk membaca fenomena alam dan fenomena sosial. Di TV swasta dapat dilihat kegigihan ilmuwan Barat, yang hanya untuk sekadar mempelajari tingkah laku simpanse atau sekelompok laba-laba, ia rela hidup bertahun-tahun di hutan ! Mana ada ilmuwan kita yang seperti ini? Bahkan pemenang Nobel untuk pemetaan DNA, penelitiannya sudah dilakukan sejak tahun 1953 dan baru mendapat Nobel lima puluh tahun kemudian! Betapa suntuknya mereka mengembangkan ilmu.

Jelas bahwa para ilmuwan maupun mereka yang memiliki jabatan profesor dan gelar doktor, mestinya menyadari bahwa gelar atau jabatannya adalah titik awal untuk berkarya, dan bukan “tujuan”. Karena jika jabatan profesor hanya sebagai “tujuan”, maka ia diibaratkan akan seperti sebatang “pohon pisang” saja, yakni “sekali berbuah setelah itu mati“. Seorang profesor mestinya laksana sebuah sumur yang semakin banyak ditimba, semakin agung airnya. Karenanya di luar negeri ada rasa malu jika seorang profesor sudah tidak berkarya lagi di almamaternya. Sebutan “publish or perish” menggambarkan kesetiaan seorang profesor di luar negeri atas komitmen ilmiahnya sekaligus komitmen terhadap kejujuran nuraninya.

Di negara-negara maju kalau seseorang memiliki jabatan profesor, hampir dapat dipastikan ia adalah ilmuwan yang “kampiun”. Ia sosok yang sangat “haus” ipteks. Bahkan saking hausnya, banyak profesor di AS dan Australia, suntuk meneliti di Indonesia secara “khusyuk”.

Sebut saja para profesor seperti William Liddle dari Ohio State University, Richard Robison, Clifford Geertz, Herbert Feith, Sidney Jones, Terrence Hull, Gavin Jones, dst. Bahkan seorang antropolog wanita asal AS (saya lupa namanya) konon kawin dengan Kepala Suku di Lembah Baliem Papua, “hanya” agar dirinya lebih mudah meneliti perilaku sosial suku tersebut. Serpihan contoh ini hanya sekadar menggambarkan betapa hausnya para profesor akan ilmu pengetahuan. Baginya ada kepuasan batin yang tiada tara ketika berhasil menganalisis berbagai fenomena sosial dan alam untuk dijadikan alat memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.

Negeri kita belum sampai ke taraf ini, karena bangsa ini masih bermental gelar formalitas. Bahkan ibadah haji yang setara dengan rukun Islam lainnya juga dibawa-bawa sebagai gelar dan disebut dalam setiap kesempatan. Karenanya dapat dipahami meski jumlah profesor terus bertambah namun tidak berarti ada rumus linier bahwa mereka akan menyumbangkan pemikiran dan penemuannya, apalagi memecahkan masalah kemasyarakatan. Wajar jika kemacetan lalu lintas malahan terus semakin ruwet, banjir tambah parah, jalan tol longsor meski baru dibangun dua bulan, impor beras dan produk-produk pertanian ditingkatkan, dst, meski di kota-kota yang mengalami masalah tersebut merupakan tempat tinggal para profesor. Karya para profesor tersebut belum begitu nampak, mungkin karena kesibukannya dalam menata kampusnya, lembaganya, instansinya, dst.

Ijazah Maiyah dan Budaya Akademik Universitas

Dari sketsa tersebut, maka mestinya Islam harus “diradikalisasi”. Islam harus beranjak dari sekadar budaya fiqh ke budaya syariah muamallah, Islam harus beranjak dari tafsiran-tafsiran yang hanya bersifat intuitif menjadi rasional (ilmiah). Islam harus dirubah dari sekadar disikapi secara spontanitas menjadi Islam yang organisatoris, dari yang mekanik menjadi dinamik, dari personal ke yang sistemik. Islam mesti menjadi agama yang kompet, yakni agama atas agama, yang melintasi “agama” instink, intelek dan agama wahyu.

Ijazah Maiyah yang digagas dan direalisasikan di Surabaya 14 Nopember 2011 yang lalu dimaksudkan untuk memberi penghargaan orang-orang yang sudah mampu melampaui agama atas agama. Mereka adalah orang-orang yang sangat suntuk ber S1,S2, S3 bahkan S4 di Universitas Kehidupan. Mereka bukan pemburu secarik kertas ijazah, apalagi berorientasi pasar, namun sudah berhasil menjadi khalifatullah dalam arti sesungguhnya, yang antara lain ditandai oleh lima hal, yakni:

Pertama, mereka benar dalam memilih nilai-nilai hidup sehingga mereka paham fitrahnya sebagai khalifatullah.

Kedua, nilai-nilai hidup dan tindakannya sangat otentik karena dituntun oleh Allah dan hukan oleh iklan atau pengaruh keduniawian lainnya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa kalau menjadi ustadz atau seniman, adalah seniman atau ustadz yang laku di pasaran. Mereka hanya berpikiran bahwa hidup itu untuk beribadah, dan kata ibadah itu luas maknanya, terutama bagaimana dirinya dapat memaksimalkan potensinya agar bermanfaat bagi alam semesta ini.

Ketiga, semua yang mereka lakukan dilandasi penuh kesungguhan karena ini bukan saja sekadar pilihan hidup, namun perintah hidup. Mereka berlandaskan moral atau akhlak dan bukan kesungguhan karena paksaan syariat atau ancaman dosa-pahala, apalagi hanya taat karena ada aturan hukum belaka. 

Keempat, kesungguhan itu harus dibuktikan dalam waktu yang lama, dan ini berarti harus ada nilai kesetiaan.

Kelima, keikhlasan menjadi kata kunci yang sangat penting, karena apa arti kesungguhan jika tidak bertahan lama dan selalu menggerutu?

Muara dari kelima hal tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan para penerima ijazah Maiyah adalah, bahwa mereka melakukan sesuatu bukan karena mereka senang, namun juga melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak mereka senangi karena memang ini pilihan yang baik sebagaimana dituntunkan rasulullah dan Allah SWT.

Dunia persekolahan, khususnya perguruan tinggi, mestinya mencontoh nilai-nilai yang ditawarkan para penerima ijazah Maiyah ini. Jika ini disepakati, berarti perguruan tinggi harus selalu aktif meninjau kelembagaan dan organisasi intern dan isi kurikulum yang digunakan agar mendukung pertumbuhan masyarakat ilmiah yang menjunjung kemartabatan manusia. Kurikulum tidak dirancang untuk menghasilkan lulusan yang seragam dan massal, namun yang mampu menunjang kreativitas, sikap akademis, kepribadian dan kemandirian. Dalam perspektif yang lebih luas, tidak terjebak dalam pengkotakan ilmu, teknologi, seni yang terspesialisasi pada bidang-bidang tertentu secara kaku, namun juga aktif mengembangkan kajian ipteks interdisipliner; agar lulusannya memiliki wawasan interdisipliner.

Selanjutnya mengembangkan budaya keterbukaan, kejujuran dan berorientasi kepada pencapaian prestasi akademik, menjadi kewajibannya. Budaya akademik tersebut harus dijiwai nilai-nilai kebenaran yang tidak hanya berorientasi kepuasan ilmiah-intelektual namun sebagai bagian tanggungjawab moral akademik terhadap lingkungannya. Dengan kata lain pengembangkan kebudayaan akademik harus berorientasi kepada kebebasan akademik yang tidak bertentangan dengan nilai kemartabatan manusia. Idealisme ini dapat tercapai jika kukuh dalam memegang prinsip “otonomi universitas”, yakni tidak mudah terseret pada kepentingan pribadi maupun kepentingan dari luar yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran akademis, kebenaran ilmiah, nilai-nilai kemartabatan manusia.

Jika idealisme tersebut dapat diwujudkan maka perguruan tinggi akan tetap kritis menyuarakan kebenaran akademis, membela kepentingan masyarakat yang tertindas dan terbelakang, melalui cara-cara yang tidak anarkhis dan tidak bertentangan dengan moral dan etika. Para civitas akademika menjunjung tinggi kehormatan universitas, dengan karya-karya yang bermutu sebagai panggilan jiwa yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Untuk menggerakkan dunia ilmiah, perlu pemikiran tentang penghargaan karya-karya dari civitas akademika, dengan penghargaan yang sepadan dan proporsional antara kepentingan akademis dan nonakademis. Artinya perlu pula menerapkan “reward-punishment” yang jelas dan tegas kepada civitas akademika yang melanggar nilai-nilai akademis dan mencederai nama universitas dengan tindakan yang bertentangan dengan moral-etika, dan tidak segan memberi kesempatan kepada dosen muda yang berpotensi; Dedikasi lebih penting daripada sekadar brilyan namun rendah loyalitasnya kepada pendidikan, karya ilmiah dan kepada masyarakat.

Untuk menunjang idealisme tersebut lembaga penelitian harus dikembangkan secara profesional sebagai simbol ilmiah sebuah universitas, dan harus berorientasi kepada kebenaran ilmiah yang inovatif dan berpihak kepada nilai-nilai kemartabatan manusia dan peradaban. Lembaga penelitian tidak hanya sekadar memberikan solusi praktis kepada masyarakat, bangsa dan negara, namun juga pengembangan teori, konsep baru dan memperluas kerjasama dengan institusi lain yang ditujukan bagi kemartabatan umat manusia.

Untuk mengembangkan budaya meneliti, ada proses yang rutin dalam pengembangan budaya “curiosity“, semangat akademis, semangat kerjasama, ketekunan, kedisiplinan, tanggungjawab ilmiah, dan daya imajinasi yang tinggi, baik lewat lomba, seminar, lokakarya, pelatihan, “peer-group“, dan sebagainya yang tidak terlalu tergantung kepada kelengkapan fasilitas. Untuk itu mental untuk maju yang dikedepankan. Jarak sosial antara profesor-doktor, pejabat, dengan dosen-mahasiswa harus diperdekat agar terjadi budaya dialog-kritis untuk tidak menghambat pengembangan ipteks. Kehormatan civitas akademika (profesor-doktor-dosen-pejabat) ditentukan oleh bobot intelektualitas, komitmen dan kejujuran di segala bidang kehidupan. Menghindarkan civitas akademika dan universitas sebagai penopang kekuatan tertentu, namun terus mendorong perguruan tinggi sebagai penopang peradaban dan nilai-nilai kemartabatan.

oleh

Minggu, 14 Oktober 2012

EMPAT RETAKAN JIWA BANGSA NUSANTARA by EMHA AINUN NADJIB

Pengantar BangbangWetan Mei 2012

 

“Perahu Retak” aslinya adalah judul sebuah lakon teater di awal 1980an yang berkisah tentang sejarah Nusantara pada awal abad 15. Inti kandungannya adalah kegagalan Bangsa (yang pernah sangat besar) Nusantara untuk menemukan kepribadian sosialnya sesudah punahnya kekuasaan besar Kerajaan Majapahit.

Kepribadian sosial bisa direntang ke hamparan konteks yang lebih luas. Misalnya, ideologi sosial, suatu landasan filosofis yang menentukan bagaimana sebuah bangsa mengambil keputusan di dalam membangun Kerajaan atau (sekarang) Negara, dengan segala perangkatnya, dari konstitusi, hukum, persambungan sosial-budaya, strategi sejarah, sistem perekonomian, hingga karakter kemanusiaan di dalam membangun atau memelihara kebudayaan, serta yang lebih besar: peradaban.

Mungkin lebih jelas kalau cara pandangnya kita tujukan langsung pada keadaan bangsa Indonesaia saat ini, yang kehilangan segala-galanya, kehilangan ukuran hampir di segala hal yang besar maupun yang kecil. Kehilangan dari kepribadian kebangsaan yang besar, kehilangan pengetahuan tentang diri sendiri sebagai bangsa, masyarakat maupun manusia. Kehilangan ilmu untuk mengolah sejarahnya, kehilangan pengetahuan untuk mengelola sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan rakyat, tidak memahami kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak apapun saja kecuali bernafsu mengejar materi dan harta benda, itupun salah berat konsepnya tentang materi dan harta benda.

Embrio kemusnahan kepribadian sosial Bangsa Nusantara itu dimulai secara substansial di akhir era Majapahit. Mulai retaknya kepribadian Bangsa Nusantara itu yang disebut “Perahu Retak”, di mana lakon teater ini berkisah tentang upaya “Seorang Pengelana” untuk menghindarkan kemusnahan yang lebih total. Pengelana itu hadir di bumi sebagai Syekh Jangkung (ketika itu diperankan oleh Joko Kamto, yang juga memerankan Smarabhumi di “Tikungan Iblis” dan Ruwat Sengkolo di “Nabi Darurat”).

Majapahit tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai kesejahteraan, tapi juga kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga bermartabat. Dan pangkal pencapaian ini terletak di tangan Mahapatih Gadjah Mada.

Kebesaran Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa diulangi atau ditiru, kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai untuk memelihara martabat sejarah. Pertanian tulang punggung perekonomian Majapahit runtuh oleh semburan dan rambahan lumpur dari perut bumi di wilayah Canggu. Kenyataan itu membuat Majapahit pasti akan hancur meskipun tidak ada manusia lain di luar Majapahit.

Tanpa semburan lumpurpun kebesaran Gadjah Mada akan meretakkan psikologi rakyat Majapahit di era-era sesudahnya, karena semakin lama semakin mengalami degradasi oleh tiadanya tokoh sekaliber Gadjah Mada. Memelihara apa yang pernah diperjuangan dan kemudian dipanggul oleh Gadjah Mada sajapun tak mampu. Raja Majapahit terakhir, Nyoo Lay Wa (lebih tepat disebut Gubernur salah satu wilayah Kerajaan Demak) dibunuh oleh rakyatnya sendiri karena dianggap tidak mampu membangkitkan kembali kebesaran Majapahit.

Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih merupakan kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi sesudah Majapahit benar-benar mengalami “Sirno Ilang Kertaning Bumi”, kebesaran Gadjah Mada berubah menjadi trauma. Itulah salah satu retakan terpenting psikologi sejarah Bangsa Nusantara.

Hari ini, retakan itu sudah tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia bukan hanya tidak sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang pernah mereka capai. Bahkan ummat manusia Republik Indonesia sekarang ini tidak percaya bahwa nenek moyang mereka pernah mencapai kebesaran sejarah di muka bumi. Anak-anak muda, bahkan banyak kalangan kaum intelektual, terutama cara berpikir Penguasa dan Media Massa, malah mengejek setiap ucapan yang menyebut kebesaran kita di masa silam.

Hari ini bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bangsa yang hidup tenteram dengan ketenangan untuk mengejek dirinya sendiri, bahkan penuh kebanggaan untuk menghina dan merendahkan dirinya sendiri.

Sunan Ampel dan seluruh Dewan Wali Sembilan sepakat mempercayakan kepada Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga untuk berjuang merekatkan kembali retakan-retakan yang terjadi pada Bangsa Nusantara.

Disain Kalijagan sangat dahsyat. Ia melakukan konsientisasi dan persiapan kebangkitan langsung ke diri Prabu Brawijaya V sendiri beserta keluarganya. Kemudian lapisan berikutnya: Angkatan Bersenjata Majapahit dan para Dewan Sesepuh Kerajaan. Kanjeng Sunan Kalijaga dengan tandas dan efektif serta dalam waktu yang relatif singkat mengeksekusi transformasi Kerajaan Majapahit menuju Kesultanan Demak. Melakukan reformulasi kenegaraan dari Kerajaan Kesatuan ke Persemakmuran Perdikan-Perdikan. Dengan langsung menyebar kader-kader utamanya, yakni sebagian besar dari 117 putra Prabu Brawijaya V untuk menjadi Kepala-Kepala Tanah Perdikan di seantero Nusantara.

Sebagai contoh Harya Dewa Ketuk dijadikan Kepala Tanah Perdikan di Bali, Harya Lembu Peteng di Madura, Harya Kuwik di Kalimantan, Retna Bintara di Nusabarong, Jaka Prabangkara di Dataran Negeri Cina, serta berpuluh-puluh lain di berbagai “Negara Bagian” dan rata-rata menjadi legenda di tempat masing-masing; Syekh Belabelu, Betoro Katong, Ki Ageng Mangir, dlsb. Puncak dari semua adalah putra Brawijaya V ke-13 Raden Jaka Praba atau Raden Patah diangkat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi penerus Bapaknya dalam transformasi di Kasultanan Demak Bintoro.

Akan tetapi itu semua justru menunjukkan jenis retakan lain pada kejiwaan Bangsa Nusantara. Kanjeng Sunan Kalijaga tidak pernah menyangka hal itu, padahal beliau dianugerahi hidup dengan usia sangat panjang, melalui empat zaman di mana beliau berperan langsung sebagai Pemangku Sejarah.

Bangsa Nusantara tidak sanggup menanggung sekaligus empat tantangan di dalam jiwa dan alam berpikirnya.

Tantangan pertama, trauma kebesaran Gadjah Mada.

Kedua, tantangan yang berupa datangnya bangsa Portugis yang membayang-bayangi kedaulatan mereka, yang berkeliaran di lautan-lautan Nusantara tanpa mereka memiliki kepemimpinan, kesatuan dan peralatan sebagai di masa lalu tatkala Gadjah Mada memimpin.

Ketiga, datangnya alam pikiran baru, spiritualitas Bumi Langit baru yang berupa Agama Islam.

Keempat, ketidak-siapan mereka untuk mandiri dan otonom, untuk hidup dalam semacam Persemakmuran Kemandirian, dan bukan hidup menjadi satu kesatuan tidak di bawah Raja Besar sebagaimana di jaman kejayaan Majapahit.

Sirnanya kebesaran Majapahit membuat rakyatnya uring-uringan sendiri dan bertengkar sehingga bermunculan faksi-faksi sosial atau pengelompokan-pengelompokan yang bermacam-macam dengan tujuan untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.

Datangnya kekuatan dari Eropa juga bukan mempersatukan mereka, melainkan menambah koloni-koloni untuk menyelamatkan diri masing-masing berdasarkan satuan-satuan sosial seketemunya saat itu. “Kelemahan” sejarah mereka antara lain adalah karena jenis ekspansi kolonialisme yang dilakukan oleh Gadjah Mada bukan murni imperialism dan penjajahan kekuasaan, melainkan bersemangat pemersatuan dengan watak memangku semua wilayah yang dipersatukan. Sebab memang demikian filosofi dasar Bangsa Jawa sejak ribuan tahun sebelumnya. “Seharusnya” mereka lebih kejam, sehingga terlatih juga untuk mempertahankan diri terhadap kekejaman yang datang.

Datangnya Islam juga menimbulkan pemecahan sosial dalam satuan yang berbeda. Kekuatan dan kebijaksanaan yang diselenggarakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sangat mencukupi muatan nilai-nilainya untuk mempersiapkan Bangsa Nusantara menjalankan transformasi, tetapi yang tak bisa ditaklukkan oleh Kalijaga adalah hakekat waktu. Bahwa Bangsa Nusantara memerlukan waktu yang panjang untuk menjadi Kaum Muslimin yang matang dan berpengalaman mengantisipasi tantangan-tantangan.

Pada saat yang sama Raden Patah memimpin mereka tidak dengan metoda dan kekuatan seperti Bapak dan kakek-kakeknya, karena beliau adalah salah satu murid utama Sunan Kalijaga yang mendidiknya berfikir secara “rahmatan lilalamin”. Raden Patah menawarkan rintisan Demokrasi, otonomi daerah, peralihan cara berpikir dari “kawulo” ke “khalifatullah”, persemakmuran yang saling berangkai, dan seterusnya. Dan ‘mantan’ rakyat Majapahit tidak siap.

Empat retakan atau berbagai ketidak-siapan itu melahirkan beragam-ragam perpecahan dan konflik. Ada konflik atas dasar hak kekuasaan, itu berlangsung di kalangan keluarga Kerajaan yang cabang-cabang pohon nasabnya sudah sangat besar dan lebar.

Ada konflik karena kepentingan tanah dan harta benda, yang membuat berbagai wilayah bekas Majapahit memisahkan diri: semangatnya bukan kemandirian dalam persemakmuran bersama, melainkan egosentrisme kekuasaan di lokal-lokal.

Ada juga yang sangat parah adalah konflik di wilayah tafsir Agama. Antara yang menolak Islam dengan yang menerima Islam. Antara yang menerima Islam sebagai suatu entitas menyeluruh dengan yang mengambil Islam untuk disinkretisasikan dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Antara yang puritan menerima Islam tanpa kearifan budaya dengan yang merancukan Islam dengan tradisi budaya. Antara individu atau kelompok masyarakat yang kadar penerimaannya terhadap Islam berbeda-beda, bertingkat-tingkat.

Berbagai-bagai tema perpecahan merebak ke segala penjuru, menciptakan polaritas-polaritas baru yang bersaling-silang. Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga merupakan semacam “padatan Muhammad kecil” bekerja dan berjuang sangat keras dalam skema sosial yang penuh retakan-retakan semacam itu.

Meskipun beliau merambah ke delapan penjuru angin, memasuki bilik-bilik Kraton hingga mengurusi kaum tani di pelosok dan para gelandangan, “hanya” berhasil menanam infrastruktur nilai-nilai sejarah baru yang sangat Islami dan dahsyat, namun memerlukan kontinyuasi dan akselerasi perjuangan pada para pelaku di zaman berikutnya.

Perjuangan Sunan Kalijaga itu bahkan “terganggu” sangat serius oleh keras dan meluasnya konflik-konflik pada Masyarakat Nusantara yang semakin kehilangan kepribadian sosialnya. Beliau mengawal berdirinya Kesultanan Demak sampai beberapa Sultan, dengan keadaan di mana kepemimpinan Demak belum cukup matang untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam Kalijagan, dan pada saat yang sama rakyat Demak juga kurang terdidik untuk menjadi pelaku yang sadar dan aktif dari reformulasi Kalijagan.

Kiai Kanjeng Sunan juga kemudian mengawal kesultanan Pajang yang semakin mengalami degradasi nilai-nilai. Dan ketika kemudian Mas Karebet, Sultan Hadiwijaya, Raja terakhir Pajang, menyerahkan kontinyuasi kepemimpinannya kepada anak angkatnya, Sutawijaya, dengan mendirikan Kerajaan (bukan Kesultanan) Mataram, maka saat itulah lahir Indonesia….

Syekh Jangkung (nama aslinya Saridin, sari-nya ad-Din), Pengelana yang dikisahkan dalam “Perahu Retak” adalah cucu murid Kanjeng Sunan Kalijaga melalui Sunan Kudus muridnya.

Ia memohon diperkenankan mengakselerasi perjuangan Sunan Kalijaga yang saat itu sudah sangat sepuh. Syekh Jangkung mencoba melakukan recovery dan rekonstruksi kepribadian Islam Nusantara melalui Raden Mas Kalong (kalong: pengelana), putra sulung Pangeran Benowo, seorang yang seharusnya memegang kuasa untuk mengembalikan etos Demak di ujung Pajang.

Pangeran Benowo pergi menyingkir dari Kesultanan karena tidak tahan hati menyaksikan multi-konflik yang terus berlangsung dan makin parah. Sehingga kekuasaan kemudian dipegang oleh tokoh yang tidak berada pada garis nasab Majapahit (dan sempalan inilah yang kemudian menjadi Kraton Pakubuwanan dan Hamengkubuwanan yang masih ada sampai hari ini).

Syekh Jangkung mengajak Kalong berkeliling membangun Masyarakat Nusantara Baru, berusaha menyelesaikan berbagai konflik dengan metoda sebagaimana yang diajarkan secara sangat mendalam namun bijak oleh Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangkung dan Kalong berusaha “memaiyahkan” Masyarakat Nusantara, namun jatah waktu kehidupan beliau tidak mencukupi, sebagaimana Sunan Kalijaga sendiri “seharusnya” berusia tiga kali lipat dari 126 tahun.

Mataram adalah Indonesia kecil yang “meresmikan” retakan-retakan mental dan cara berpikir Bangsa Nusantara. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Mataram besar yang memuncaki keretakan itu, sampai pada tahap bagaikan tiada lagi Nusantara ini, dari berbagai sudut pandang, cara pandang maupun jarak pandang.

Hari ini dan seterusnya, Anda semua para Jamaah Maiyah adalah Jangkung-Jangkung Kalong-Kalong yang sedang ditantang oleh sejarah.

Muhammad Ainun Nadjib
Yogya 6 Mei 2012

Jumat, 14 September 2012

KONSEP TEOLOGI SEPEDA HILANG by EMHA AINUN NADJIB


Pada suatu pagi, sekitar 15 tahun yang lalu, sepeda pancal alias sepeda onthel saya hilang dari rumah kontrakan saya. Tentu diambil oleh salah seorang dari anak-anak muda sekitar sini. Banyak dari mereka pengangguran, dan lagi rumah ini memang dekat dengan pasar.

Sebagai manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten dan tidak rasional. Rumah ini memang tak pernah dikunci. Setiap orang gampang sekali membuka pintu yang sebelah manapun dan mengambil apapun. Jadi, kalau sepeda hilang, itu logis dan realistis.


Tapi saya tak peduli. Saya ke depan rumah, berdiri bertolak pinggang menghadap ke arah pasar, dan berteriak: “Kalau sepeda saya tidak kembali sampai nanti sore, saya tidak bertanggung jawab kalau ada orang pengkor satu kakinya, cekot sebelah tangannya, atau pethot mulutnya”.

Orang-orang di sekitar kaget dan terkesiap sejenak. Tapi saya segera masuk rumah dan tidur lagi.
Tak disangka tak dinyana, ketika siang belum sempurna, pintu depan diketuk berulangkali. Saya nongol, seorang anak muda berpakaian butut berdiri dengan wajah ketakutan dengan sepeda berdiri terjagang di sebelahnya.

Ketika saya menatapnya, ia menunduk. “Kenapa kamu?” Saya bertanya.

“Maaf, Cak…” ia menjawab tersendat, “saya yang mencuri sepeda Sampeyan. Saya minta maaf. Sekarang saya kembalikan….”

“Lho, kenapa kamu kembalikan?” Saya bertanya lagi.

“Saya dengar dari orang-orang bahwa Sampeyan marah….”.

“Tapi kan kamu butuh sepeda?” Saya kejar terus.

“Iya, siih….”

“Untuk apa sepeda?”

“Tempat kerja saya jauh sekali. Kalau saya jalan kaki, kejauhan. Kalau saya pakai angkutan, gaji saya jadi terlalu sedikit….”

“Jadi kamu butuh sepeda?”

“Ya, Cak”

“Ya sudah, kamu bawa saja sepeda ini,” kata saya, “sekarang sepeda ini sudah halal kalau kamu bawa. Saya sudah ikhlas, kamu sudah tidak berdosa. Dan, Insya Allah, kalau yang kamu pakai adalah barang halal, rejekimu akan berkah. Kalau tadi, karena kamu mencuri, maka kamu berdosa, dan saya kamu tindas. Kamu dikutuk Tuhan, saya tidak mendapat apa-apa kecuali kemarahan. Sekarang semua sudah halal dan baik. Silakan pakai, semoga Allah menambah rezekimu dan meringankan hidupmu.”
Dia bengong. Saya masuk rumah dan kembali tidur.

Dengan dua macam lalu-lintas pindahnya suatu barang dari dan ke subyek yang sama, nilainya menjadi berbeda. Kalau saya memakai kalkulasi ekonomi dunia, maka saya rugi kehilangan sepeda. Maka saya pakai teologi manajemen dunia akhirat, sehingga beralihnya sepeda saya ke tangan anak itu tidak membuat saya kehilangan. Malah saya laba banyak, bukan hanya pahala di akhirat, tapi Allah juga menjanjikan rezeki berlipat ganda, entah berupa apapun, terserah Dia saja. pokoknya ia in syakartum la-azidannakum.

Saya ini hampir selalu dikeluarkan dari setiap sekolah yang pernah saya masuki. Jadi saya ini bukan kaum terpelajar, baik di sektor Salafiyah dan Kitab Kuning, maupun di sektor persekolahan modern. Jadi saya tidak tahu banyak mengenai banyak hal. Tetapi dengan segala keawaman itu saya haqqul yaqin dan ‘ainul yaqin bahwa apa yang saya pahami, sikapi, dan lakukan dalam hal sepeda itu adalah konsep teologi Islam.

Apapun saja yang saya lakukan di muka bumi ini, sejak pagi hingga pagi berikutnya, ketika berada di timur atau barat, tatkala berjaga, atau mengantuk, sebisa-bisa saya tumbuhkan di atas kesadaran dan konsep teologi yang segamblang-gamblangnya.

Kalau saya menjumpai sebatang kayu melintang, saya sisihkan ke pinggir supaya tidak menyandungi orang lewat. Kalau mungkin, saya akan pakai ia untuk menyangga sesuatu atau untuk apapun yang bermanfaat. Konsep teologi saya ada lah bahwa segala yang di depan saya itu merupakan amanat Allah untuk saya Islamkan. Di-Islamkan artinya diubah dari kemubaziran atau kemudharatan menjadi kegunaan dan kemashlahatan.

Ingatan, kesadaran, dan formula konsep teologi itu harus terus-menerus saya cari, saya pahami, dan saya terapkan. Dan itu berlaku untuk pekerjaan yang kecil maupun yang besar. Untuk soal rumput di halaman rumah sampai soal pekerjaan sejarah besar yang menyangkut kebudayaan masyarakat.
Saya menyuapi mulut saya dengan nasi tidak karena saya ingin makan, melainkan karena saya wajib memelihara kesehatan badan yang dimandatkan oleh Pencipta saya. Saya mencangkuli tanah dan menanam sesuatu bukan sekadar karena saya menyukai keindahan, melainkan juga karena saya bersyukur dan takjub: kok ya ada di dalam hidup ini yang namanya tanah, kesuburan, serta biji yang kalau ditaruh di situ lantas tumbuh dengan penuh keajaiban.

Saya berangkat tidur pada jam tertentu bukan karena saya ingin menikmatinya, tapi karena saya wajib bergabung ke dalam irama sunnatullah yang menyangkut badan dan jiwa saya. Saya bersedia pulang ke rumah hanya beberapa hari dalam sebulan dan selebihnya diatur orang banyak untuk berada di berbagai tempat dan melaksanakan kemauan mereka, bukan karena itu karir saya atau profesi saya, karena saya tidak punya karir dan tidak peduli profesi.

Saya lakukan itu semua karena, pertama, saya ini aslinya tidak ada, kemudian Allah mengadakan saya, ia satu-satunya yang berhak atas saya, dan karena itu segala yang saya lakukan bergantung pada kemauan-Nya. Saya diberi wewenang oleh-Nya untuk berkemauan, tapi saya tidak pernah percaya bahwa kemauan saya atas diri saya dan dunia ini akan pernah lebih baik dibanding kemauan Tuhan atas diri saya dan dunia ini. Oleh karena itu saya tidak berani melepaskan apapun sampai yang sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya, dari pencarian pengetahuan tentang apa yang kira-kira dimaui oleh Sang Konsultan Agung Allah SWT itu.

Kalau saya punya iradah, harus saya sesuaikan dengan amr-Nya. Terkadang cocok, terkadang tidak. Terkadang benar, terkadang salah. Tapi, apapun yang terjadi, iradah itu harus saya lakukan dengan menggunakan qoul-Nya supaya produknya adalah kun fayakun. Saya tidak banyak mengerti ilmu di alam semesta ini. Jadi hanya itulah yang saya pahami sebagai konsep teologi.

Maka, sebab kedua, orang-orang yang memintaku untuk melakukan segala macam pekerjaan itu — ya kesenian, ya keagamaan, ya politik, ya ekonomi, ya pengobatan, ya konsultasi kejiwaan, ya segala macam jenis partisipasi dan sumbangan sosial — tidak bisa saya yakini bahwa kemauan mereka itu benar-benar terlepas dari kemauan Tuhan. Saya harus berspekulasi dan bersangka baik bahwa mereka adalah penyalur amanat Tuhan kepada saya.

Jadi, apa saja, dari makan rujak sampai bikin ABRI, tidak berhak dilakukan oleh manusia yang memiliki hubungan vertikal total dengan Allah — tanpa memberangkatkannya dari ingatan, kesadaran, dan konsep teologi yang jelas.

Dengan kata lain, tak perlu menunggu mau bikin partai Islam dulu baru berpikir tentang konsep teologi. Bikin mesjid, bikin perusahaan, bikin Golkar, bikin negara, bagi orang yang ber-Tuhan, ada keberangkatan dan titik tuju teologisnya.

Ketika berpakaian sekular, ketika berbusana Muslim, ketika berformalisme Islam, ketika berkultur-kultur Islam, ketika Islam formal dipakai atau disembunyikan, ketika Islam diletakkan di kultur thok, atau juga di politik resmi, semua terikat pada penyikapan teologis. Apalagi yang namanya Partai Islam, harus terutama dilihat secara substansial: bisa saja namanya Partai Daun atau Partai Kambing, tapi yang kita lihat adalah apakah substansi kerjanya Islam atau tidak. Hanya orang-orang yang tradisinya berpikir simbolik yang menyangka bahwa partai Islam hanyalah partai yang memakai nama dan kata Islam.

Kalau ada parpol yang pilar perjuangannya adalah amar makruf nahi munkar dan akhlaqul karimah, maka secara substansial ia telah bersyahadat Islam. Bahkan kalau ada parpol lain yang memperjuangkan demokrasi, kemerataan kesejahteraan, keadilan sosial, dan penghormatan atas haq asasi manusia, secara substansial ia bisa kita sebut partai Islam. Masalahnya, tinggal ditunggu proses aktualisasinya saja: konsisten atau tidak, istiqamah atau tidak.

Kalau misalnya saya sibuk dan mencemaskan berdirinya partai Islam, karena toh substansi partai-partai yang ada juga relatif sudah substantially Islam, maka berarti saya berpikir simbolik. Juga berarti saya tidak paham bahwa kalau ada anjuran tentang partai Islam formal, itu sekadar upaya pembebasan dari tradisi simbolisme: agar tidak resmi Islam ya boleh, resmi Islam ya boleh. Yang penting, substansinya Islam atau tidak.

Tidak hanya ketika saya pakai peci saya maka saya terikat oleh teologi Islam. Tatkala saya pakai kaos oblong dan menjadi gelandangan di tepi jalan pun saya terikat oleh Allah.

www.caknun.com/2012/konsep-teologi-sepeda-hilang/

Kamis, 12 Juli 2012

FRIENDS by STEPHANIE


 While we wore the same smiles,
We passed through the years together.
The scenery kept changing,
And we struggled to accept it.

I throw away my useless pride.
May kindness come to this world.

I Gotta Say
Even if I show off my bravery and my strength,
I can't survive alone.
Our promise from that day,
It remains firmly in my heart, even now.

New encounters come after each farewell.
I find light down a new path, and move on.
Since the day I was born,
That has been the way my life is molded.

Before we realized it,
We have both found our own futures.

I Gotta Say
Even if you are far away where I can't meet you,
There's a resilient bond between us.
"May my dreams come true."
I am praying from the bottom of my heart.
We're friends forever.
We pledged to meet again someday,
Crossed our little fingers,
And set out that day,
For unseen destinations,
And though we may be lost,
We are making progress,
Always.

Through the changing seasons,
And this fleeting moment,
I listen to these nostalgic melodies.
Even when I become an adult,
Some things won't fade,
Like our precious memories.

I Gotta Say
Even if I show off my bravery and my strength,
I can't survive alone.
Our promise from that day,
It remains firmly in my heart.

As life goes on...
I mustn't forget, yeah.
Don't let it go...
I remember this vast land and my friends.

Rabu, 20 Juni 2012

SANG PETUALANG by IWAN FALS


Laut biru begitu lapang
Dan gelombang menghalau bosan
Petualang bergerak tenang
Melihat diri untuk pergi lagi

Ia sejenak hanya sejenak
Ia membelai semua luka
Ia sekejap hanya sekejap
Ia merintih pada samudera

Sebebas camar engkau berteriak
Setabah nelayan menembus badai
Seikhlas karang menunggu ombak
Seperti lautan engkau bersikap

Petualang merasa sunyi
Sendiri di hitam hari
Petualang jatuh terkapar
Namun semangatnya masih berkobar

Petualang merasa sepi
Sendiri dikelam hari
Petualang jatuh terkulai
Namun semangatnya bagai matahari

Sebebas camar engkau berteriak
Setabah nelayan menembus badai
Seikhlas karang menunggu ombak
Seperti lautan engkau bersikap

Ia sang petualang terjaga
Ia sang petualang bergerak
Ia sang petualang terkapar
Ia sang petualang sendiri

Minggu, 10 Juni 2012

KENAPA MENDAKI GUNUNG?


Bagi orang awam, kiprah petualang seperti Pendaki Gunung selalu mengundang pertanyaan klise : "mau apa sih ke sana?". Pertanyaan sederhana, tetapi sering membuat bingung yang ditanya, atau bahkan mengundang rasa kesal. George F Mallory, pendaki gunung terkenal asal Inggris, mungkin cuma kesal saja ketika menjawab : "because it is there", karena gunung ada disitu!, Mallory bersama seorang temannya, menghilang di Pucuk Everest pada tahun 1924.

Beragam jawaban lain juga muncul, Soe Hok Gie, salah seorang pendiri Mapala UI, menulisnya dalam sebuah puisi : ”Aku Cinta Padamu Pangrango, Karena Aku cinta Keberanian Hidup”. Bagi pemuda ini, keberanian hidup itu harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Soe Hok Gie tewas bersama seorang temannya Idhan Lubis, tercekik gas beracun dilereng kerucut Mahameru, Gunung Semeru, 16 Desember 1969, dipelukkan seorang sahabatnya, Herman O Lantang.

Pemuda aktif yang sehari-hari terlibat dalam soal-soal pelik di dunia politik ini mungkin menganggap petualangan di gunung sebagai arena untuk melatih keberanian menghadapi hidup. Mungkin pula sebagai pelariannya dari dunia yang digelutinya di kota. Herman O Lantang yakin bahwa sahabatnya itu meninggal dengan senyum dibibir. ”Dia meninggal ditengah sahabat-sahabatnya di alam bebas, jauh dari intrik politik yang kotor”, ujarnya.

Motivasi melakukan kegiatan dialam bebas khususnya mendaki gunung memang bermacam macam. Manusia mempunyai kebutuhan psikologis seperti halnya kebutuhan-kebutuhan lainnya: kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan untuk berprestasi, dan kebutuhan untuk diakui oleh masyarakat dan bangsanya. Mendaki gunung adalah salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, disadari atau tidak. Semua ini sah, tentu saja.

Sebenarnya yang paling mendasar dari semua motivasi itu adalah rasa ingin tahu yang menjadi jiwa setiap manusia. Rasa ingin tahu adalah dasar kegiatan mendaki gunung dan petualangan lainnya. Keingintahuannya setara dengan rasa ingin tahu seorang bocah, dan inilah yang mendorong keberanian dan ketabahan untuk menghadapi tantangan alam. Tetapi apakah sebenarnya keberanian dan ketabahan itu bagi pendaki gunung?

Peter Boardman, Pendaki Gunung asal Inggris, menjadi jenuh dengan pujian-pujian yang bertubi-tubi, setelah keberhasilannya mencapai Puncak Everest melalui Dinding Barat Daya yang sulit di tahun 1975. Peter Boardman yang kemudian hilang di Punggung Timur Laut Everest. Tahun 1982 menulis arti Keberanian dan Ketabahan baginya.
  
”Dibutuhkan lebih banyak Keberanian untuk menghadapi kehidupan sehari-hari yang sebenarnya lebih kejam daripada bahaya pendakian yang nyata. Ketabahan dibutuhkan lebih banyak untuk bekerja di kota daripada mendaki gunung yang tinggi.” Keberanian dan Ketabahan yang dibutuhkan ketika mendaki gunung cuma sebagian kecil saja dari hidup kita. Bahaya yang mengancam jauh lebih banyak ada didunia peradaban, di perkotaan ketimbang digunung, hutan, dalam goa, dan dimana saja dialam terbuka.

Di dunia peradaban modern, di kota, begitu banyak masalah yang membutuhkan Keberanian dan Ketabahan untuk menyelesaikannya. Di gunung, masalah yang kita hadapi hanya satu : ”Bagaimana mencapai puncaknya, lalu turun kembali dengan selamat.”

Seorang psikolog pernah mengatakan, ”bahwa mereka yang menggemari petualangan di alam bebas adalah orang-orang yang mencintai Kematian.” Ini pendapat yang salah dan keliru besar. Kenapa? Mereka yang berpetualang di alam bebas sebenarnya begitu menghargai kehidupan ini. Ada keinginan mereka untuk memberi arti yang lebih bernilai dalam hidup ini. Mereka berpetualang di alam bebas untuk mencari arti hidup yang sebenarnya. Tak berlebihan bila seorang ahli filsafat mengatakan : ”Didalam hutan dan alam bebas aku merasa menjadi manusia kembali.”


Petualang yang tewas di gunung (kegiatan alam bebas lainnya), bukanlah orang yang mencintai kematian. Kematiannya itu sebenarnya tak berbeda dengan kematian orang lain yang tertabrak mobil di jalan raya atau terbunuh perampok. Yang pasti, Mereka tewas justru dalam usahanya untuk menghargai kehidupan ini. ”Hidup itu harus lebih dari sekedarnya”, tulis Budi Laksmono yang tewas digulung jeram Sungai Alas, Aceh, 1985.


George F. Mallory, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Norman Edwin, Didiek Samsu, Peter Boardman, Budi Laksmono, dan banyak lagi petualang dan penjelajah alam bebas lainnya yang gugur dalam misinya, Mereka semua adalah yang sangat menghargai KEHIDUPAN !

BECAUSE IT'S WORTH IT AND PRICELESS MOMENT. YOU WILL NOT KNOW IF YOU'RE NOT THERE YET AND THE ANSWER IS THERE.

HIDUP ADALAH SOAL KEBERANIAN MENGHADAPI YANG TANDA TANYA
TANPA KITA MENAWAR, ”TERIMA DAN HADAPILAH”.
Soe Hok Gie

Kamis, 31 Mei 2012

^o^ by IWAN FALS


 Dari gunung ke gunung
Menembus kabut lembah dan jurang
Melewati hutan pinus, melewati jalan setapak
Mendengar gesekan daun dan burung-burung

Menikmati aroma tanah dan segarnya udara
Jauh dari kebingungan sehari-hari

Aku dapat lepas teriak
Aku dapat bebas bergerak
Sambil menghangatkan tubuh pada api unggun
Lalu bersyukur atas semua ini
Ternyata masih ada tempat untuk kita berbicara
Walau lewat mata

Senangnya hati tak bisa aku gambarkan
Apalagi pagi datang menjelang
Dinginnya menembus tenda, daging dan tulang
Perlahan tapi pasti mulai menghilang

Kita menari menyanyi sesuka hati
Lidah sang api memanggil-manggil ILLAHI
ALLAH MAHA BESAR, ALLAH YANG TERBESAR

Dalam lingkaran diatas rumput yang damai
Mencari diri merambah sampai ke akar
Kalau berjumpa seringkali mengingatkan
Bagaikan cermin jernih yang tak ternoda

Kasihku
Bila saja kau disampingku
Kasihku
Bila saja kau didekatku
Pasti akan kupeluk kamu
Dan kuucapkan
Selamat pagi sayang

HUTANKU by IWAN FALS


Hutan ditebang kering kerontang
Hutan ditebang banjir datang
Hutan ditebang penyakit meradang
Hutan-hutanku hilang anak negeri bernasib malang

Hutan-hutanku hilang bangsa ini tenggelam

Adakah engkau tahu ini adalah hukuman
Adakah engkau tahu ini adalah peringatan
Adakah engkau tahu ini adalah ancaman
Adakah engkau tahu ini adalah ujian Tuhan

Sadar dan sadarlah hei anak negeri
Sadar dan sadarlah hei para pemimpin
Hentikan, hentikan
Hentikan semua duka ini

Kembalikan kesuburan negeri ini
Kembalikan keindahan hutanku
Kembalikan ketenangan bangsa ini
Kembalikan, kembalikan hutanku


Biarkan, biarkan hutanku bangkit lagi

Lirik by : H. MS Kaban, SE Msi

Senin, 14 Mei 2012

MASK by AQUA TIMEZ


Where can I find a heart that doesn't have a single wound?
I was asked by the wind as it blew past my neck.
I don't have a good answer to this question.
People, with just one life, are trying their best to thrive.

After we were slightly buffeted by the overly green spring,
together we pushed through summer's radiance.
On the path you have chosen, I hope positivity would spread
so that we could light each others way again someday.

"I want you to live without any dark cloud, so don't hate this temporary rain."
"I want you to live without having to lie, loneliness is nothing to fret about."

Your body exists for the purpose of carrying the love concealed within,
forever, and ever, from the day you were born.
You, I, he, and everyone else, are all wandering without being able to say anything.
We only hope that one day, eventually, our words would reach their destination.

Unable to fit ourselves into society, we are left powerless.
From a base named loneliness, we see off one season after another.
The wish to perish slowly in the counter-current's embrace
will only settle in the thoughts we each cling to.

We want to escape somewhere else other than our current location.
We want to become someone else other than our current self.
For the time being we have put on a smiling mask.
Just what do people truly desire?

Lying sprawled on the grass, after I have wept a little,
I peeked from donut hole,

saw a beautifully cerulean sky, and cried to my heart's content.

I don't need a time machine. I only need to treasure my present time.
But, but, unable to let go of my regrets,
I became alone while trying to find someone else,

became pieces while trying to become whole.
Yes, that's right, I hope I can make it in time within my lifetime.

Even if there are no pretty names for the thoughts you gave me,
those thoughts will still dance nimbly in the sky of memories.

"I want you to live without any dark cloud, so don't hate this temporary rain."
"I want you to live without having to lie; loneliness is nothing to fret about."

You found and embraced the loneliness within me when I had lost my way,
and told me that it would be fine for me to cry now.
I trained myself to hold in my tears no matter how sad I might feel.
But for all this time, I have always wanted to cry.

I have always wanted to smile freely, without having to put a mask over my heart.  

i hope we are not like someone who want to put a mask over our heart.... ^_^v

Jumat, 27 April 2012

TELAGA BERACUN & DHARMA PRASHNA



Puntadewa / Yudhistira

Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan, Yudhistira dan keempat adiknya membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudhistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudhistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.

Yudhistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah telaga. Ada seekor bangau yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab pertanyaan darinya. Sambil menahan haus, Yudhistira mempersilakan Sang bangau untuk bertanya. Sang bangau lalu berubah wujud menjadi Yaksa. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab. Inilah sebagian pertanyaan yang diajukan Yaksa pada Yudhistira:

Yaksa: Apa yang lebih berat daripada Bumi, lebih luhur daripada langit, lebih cepat daripada angin dan lebih berjumlah banyak daripada gundukan jerami?

Yudhistira: Sang Ibu lebih berat daripada Bumi, Sang Ayah lebih luhur daripada langit, Pikiran lebih cepat daripada angin dan kekhawatiran kita lebih berjumlah banyak daripada gundukan jerami.

Yaksa: Siapakah kawan dari seorang musafir? Siapakah kawan dari seorang pesakitan dan seorang sekarat?


Yudhistira: Kawan dari seorang musafir adalah pendampingnya. Tabib adalah kawan seorang yang sakit dan kawan seorang sekarat adalah amal.

Yaksa: Hal apakah yang jika ditinggalkan membuat seseorang dicintai, bahagia dan kaya?


Yudhistira: Keangkuhan, bila ditinggalkan membuat seseorang dicintai. Hasrat, bila ditinggalkan membuat seseorang kaya dan keserakahan, bila ditinggalkan membuat seseorang bahagia.

Yaksa: Musuh apakah yang tidak terlihat? Penyakit apa yang tidak bisa disembuhkan? Manusia macam apa yang mulia dan hina?


Yudhistira: Kemarahan adalah musuh yang tidak terlihat. Ketidakpuasan adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Manusia mulia adalah yang mengharapkan kebaikan untuk semua makhluk dan Manusia hina adalah yang tidak mengenal pengampunan.

Yaksa: Siapakah yang benar-benar berbahagia? Apakah keajaiban terbesar? Apa jalannya? Dan apa beritanya?


Yudhistira: Seorang yang tidak punya hutang adalah benar-benar berbahagia. Hari demi hari tak terhitung orang meninggal. Namun yang masih hidup berharap untuk hidup selamanya. Ya Tuhan, keajaiban apa yang lebih besar? Kebenaran Dharma dan tugas, tersembunyi dalam gua-gua hati kita. Karena itu kesendirian adalah jalan dimana terdapat yang besar dan kecil. Dunia yang dipenuhi kebodohan ini layaknya sebuah wajan. Matahari adalah apinya, hari dan malam adalah bahan bakarnya. Bulan-bulan dan musim-musim merupakan sendok kayunya. Waktu adalah Koki yang memasak semua makhluk dalam wajan itu (dengan berbagai bantuan seperti itu). Inilah beritanya.

Akhirnya, Yaksa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudhistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Yaksa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudhistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudhistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madrim, yaitu Nakula.

Yaksa terkesan pada keadilan Yudhistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan yaksa adalah untuk memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudhistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.

Senin, 23 April 2012

KONSEP INSTRUMENTASI INDUSTRI


Bagan Konsep Instrumentasi Industri

Pengertian instrumentasi menurut tenaga penggeraknya :
  1. Pneumatik Instrumen adalah instrumen yang tenaga penggeraknya baik dalam arti pemindahan besaran maupun untuk bekerjanya sendiri menggunakan udara bertekanan yang disebut instrument air.

  2. Elektronik Instrumen adalah instrumen yang tenaga penggeraknya adalah listrik arus lemah dan pada umumnya juga bertegangan rendah. Berbeda dengan pneumatik instrumen yang pergerakan sistemnya merupakan pergerakan mekanis akibat tekanan instrument air yang bervariasi, maka didalam elektronik instrumen banyak berisi komponen elektronik seperti transistor; dioda; resistor; IC; dll. Yang didalam sistem elektroniknya sendiri tidak ada mekanis yang bergerak.

  3. Elektrik Instrumen adalah relay; servo motor; lampu display; switch; dll. Komponen-komponen tersebut setelah disusun dalam suatu rangkaian akan membentuk interlock system.

  4. Hidrolik Instrumen adalah instrumen yang memakai tenaga penggerak berupa cairan bertekanan tinggi semisal air dan minyak. Biasanya instrumen jenis ini hanya dipakai untuk lokal kontrol saja, untuk pengontrolan jarak jauh ataupun pengiriman informasi tidak menguntungkan karena pertimbangan kecepatan dan perlengkapan.

  5. Mekanik Instrumen adalah instrumen yang benar – benar hanya bekerja secara mekanik. Misalkan timbangan, dll.
Merujuk pada pengertian instrumen bisa diketahui secara garis besar bahwa fungsi dari instrumen terbagi menjadi 3 pokok yakni :

Measurement & Control
  1. Pengukuran (Measurement)
  2. Pengendalian (Control)
  3. Pengamanan (Tripping & Alarm)

Laporan Kerja Praktek "Studi Sistem Instrumentasi Pada Industri Proses"
Bab V Pengantar Instrumentasi & Pengukuran
Besaran Proses
by Pradita Khalis Andhika 2011

Kamis, 19 April 2012

JAMAN EDAN by KI MANTEB SUDARSONO

e.. e.. jaman edan (e.. e.. jaman gila)
e.. e.. e.. jaman edan (e.. e.. e.. jaman gila)

yen ra ngedan ra keduman (jika tak menggila tak kebagian)
melu ngedan ora tahan (ikut menggila tak tahan)

wolak waliking jaman (bolak baliknya / rusaknya jaman)
kursi kursi nggo rebutan (kursi kursi jadi rebutan)
rakyat cilik dadi korban (rakyat kecil jadi korban)

jare jaman reformasi (katanya jaman reformasi)
ning korupsi malah ndadi (tapi korupsi malah menjadi-jadi)

nduwur subur, tengah makmur (diatas subur, ditengah makmur)
ngisor dadi ajur mumur (dibawah jadi hancur lebur)

ngerti hukum jebule ngrusak tatanan (tahu hukum tapi malah merusak tatanan)
podho dumduman dhuwit sogok sogokan (saling berbagi uang suap)
jaman edan, sing edan lali pangeran (jaman gila, yang gila lupa Tuhan YME)

hal senada juga pernah diucapkan oleh prabu joyoboyo dan sabdo palon serta para sesepuh mengenai jaman edan. mungkin ini sedikit berlebihan dan percaya pada ramalan. tapi jika kita mau mengetahui bahwa ternyata kanjeng nabi muhammad saw. juga pernah mengisyaratkan hal serupa.

pertanyaan yang muncul dalam benak adalah
"apa yang harus dilakukan saat kita merasakan jaman edan?"
semoga ini tak hanya jadi pertanyaan yang tanpa jawaban.

mari bercermin pada mutiara hidup yang sudah sedemikian banyaknya dinasehatkan oleh islam melalui kanjeng nabi saw., para alim ulama, para wali serta yang tak boleh dilupakan juga nasehat yang diberikan oleh para sesepuh kita apapun agama dan sukunya.

Minggu, 15 April 2012

ANTISIPASI GEMPABUMI

Sebelum Terjadi Gempabumi

A. Kunci Utama adalah

Mengenali apa yang disebut gempabumi Pastikan bahwa struktur dan letak rumah Anda dapat terhindar dari bahaya yang disebabkan oleh gempabumi (longsor, liquefaction, dll.). Mengevaluasi dan merenovasi ulang struktur bangunan Anda agar terhindar dari bahaya gempabumi.


B. Kenali Lingkungan Tempat Anda Bekerja Atau Belajar
  1. Perhatikan letak pintu, lift serta tangga darurat, apabila terjadi gempabumi, sudah mengetahui tempat paling aman untuk berlindung;
  2. Belajar melakukan P3K;
  3. Belajar menggunakan alat pemadam kebakaran;
  4. Catat nomor telepon penting yang dapat dihubungi pada saat terjadi gempabumi.

C. Persiapan Rutin pada tempat Anda bekerja dan tinggal
  1. Perabotan (lemari, cabinet, dll) diatur menempel pada dinding (dipaku, diikat, dll) untuk menghindari jatuh, roboh, bergeser pada saat terjadi gempabumi;
  2. Simpan bahan yang mudah terbakar pada tempat yang tidak mudah pecah agar terhindar dari kebakaran;
  3. Selalu mematikan air, gas dan listrik apabila tidak sedang digunakan.




 
D. Penyebab celaka yang paling banyak pada saat gempabumi adalah akibat kejatuhan material
  1. Atur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian bawah;
  2. Cek kestabilan benda yang tergantung yang dapat jatuh pada saat gempabumi terjadi (misalnya lampu, dll.).







                                                                                                                                                
E. Alat yang harus ada di setiap tempat
  1. Kotak P3K;
  2. Senter/lampu baterai;
  3. Radio;
  4. Makanan suplemen dan air.







                                                                                                            
Saat Terjadi Gempabumi
A. Jika Anda berada di dalam bangunan
  1. Lindungi badan dan kepala Anda dari reruntuhan bangunan dengan bersembunyi di bawah meja dll.;
  2. Cari tempat yang paling aman dari reruntuhan dan goncangan;
  3. Lari ke luar apabila masih dapat dilakukan;
  4. Dan usahakan agar jangan panik.








B. Jika berada di luar bangunan atau area terbuka
  1. Menghindar dari bangunan yang ada di sekitar Anda seperti gedung, tiang listrik, pohon, dll.;
  2. Perhatikan tempat Anda berpijak, hindari apabila terjadi rekahan tanah.













C. Jika Anda sedang mengendarai mobil
  1. Keluar, turun dan menjauh dari mobil hindari jika terjadi pergeseran atau kebakaran;
  2. Lakukan point B.
D. Jika Anda tinggal atau berada di pantai
  1. Jauhi pantai untuk menghindari bahaya tsunami.
  2. Usahakan lari ke tempat yang lebih tinggi, seperti ke bukit atau gunung (bila tidak memungkinkan bisa di atas bangunan tinggi).








 E. Jika Anda tinggal di daerah pegunungan
  1. Apabila terjadi gempabumi, hindari daerah yang mungkin terjadi longsoran.

















Setelah Terjadi Gempabumi

A. Jika Anda berada di dalam bangunan
  1. Keluar dari bangunan tersebut dengan tertib;
  2. Jangan menggunakan tangga berjalan atau lift, gunakan tangga biasa (tangga darurat);
  3. Periksa apa ada yang terluka, lakukan P3K;
  4. Telepon atau mintalah pertolongan apabila terjadi luka parah pada Anda atau sekitar Anda.







B. Periksa lingkungan sekitar Anda
  1. Periksa apabila terjadi kebakaran;
  2. Periksa apabila terjadi kebocoran gas;
  3. Periksa apabila terjadi hubungan arus pendek listrik;
  4. Periksa aliran dan pipa air;
  5. Periksa apabila ada hal-hal yang membahayakan (mematikan listrik, tidak menyalakan api, dll).










C. Jangan mamasuki bangunan yang sudah terkena gempa
  1. Karena kemungkinan masih terdapat reruntuhan.












D. Jangan berjalan di sekitar bangunan,atau tiang listrik
  1. Karena kemungkinan terjadi bahaya susulan masih ada.















E. Mendengarkan informasi
  1. Dengarkan informasi mengenai gempabumi dari radio (apabila terjadi gempa susulan);
  2. Jangan mudah terpancing oleh isu atau berita yang tidak jelas sumbernya.











F. Mengisi angket yang diberikan oleh instansi terkait untuk mengetahui seberapa besar kerusakan yang terjadi 












G. Jangan panik dan jangan lupa selalu berdo'a kepada Tuhan YME demi keamanan dan keselamatan kita semuanya