Jumat, 26 Oktober 2012

NGELMU IKU KELAKONE KANTHI LAKU

Sisi Lain Ijazah Maiyah

Bagi orang awam, ijazah itu hanya simbol yang biasa digunakan dunia persekolahan bahwa seseorang telah mencapai derajad tertentu, entah itu lulus SD, SMP, SMA, diploma, sarjana, master, atau doktor. Dari konstruksi kalimat ini, ijazah bukan tujuan yang harus dicari seseorang, karena yang dicari adalah ilmu. Faktanya, kalimat ini tidak berlaku seratus persen. Lihat saja di dunia persekolahan di negeri ini ternyata banyak diisi oleh kaum akademisi yang logikanya terbalik, yakni ijazah menjadi tujuan dan penguasaan ilmu menjadi nomor kesekian belas. Karenanya dapat dipahami jika ijazah menjadi komoditas yang paling laris. Jual beli ijazah dapat dilakukan terang-terangan, maupun dapat dilakukan secara tersulubung.

Coba saja iseng-iseng bertanya kepada seorang murid atau mahasiswa, maukah mendapat ijazah namun tidak mendapat ilmu, atau sebaliknya mendapat ilmu namun tidak mendapat ijazah misalnya, maka mahasiswa tersebur akan bersorak dan koor bersama: ”Yo mesti jelas pilih dapat ijazah (meski tidak dapat ilmu)”. Demikian juga mahasiswa saya, melihat saya sangat rajin mengisi kuliah sehingga tidak pernah sekalipun kosong, mereka malah bertanya: “Lho pak kok gak pernah kosong?” Saya hanya bilang: “Apa kalian ingin tidak ada kuliah saja dan kalian langsung saya kasih ijazah kosong dan diisi sendiri nilainya, mau?” Jawab mereka juga serempak: “Yo mestiiii….” Lalu mereka tertawa dan bertepuk tangan bersama, riuh rendah.

Mengapa yang dicari ijazah? Karena ijazah juga bisa untuk bekal masuk pegawai negeri, sedangkan ilmu belum tentu. Buktinya untuk masuk pegawai yang ditanyakan juga ijazahnya, bukan penguasaan ilmunya.

Cara memperdagangkan ijazah secara tersembunyi juga marak dilakukan, misalnya dengan cara mengatrol nilai, baik karena kasihan agar tidak menjadi mahasiswa abadi maupun karena memang rendah mutu perguruan tinggi yang bersangkutan. Lihat kasus nyontek massal dalam ujian nasional. Wajar jika kepemilikan ijazah seseorang tidak berbanding lurus dengan akhlaknya. Yang terjadi justru hal yang aneh: makin tinggi ijazah yang dimiliki seseorang, makin tinggi pula tingkat kecanggihannya untuk mencuri (korupsi). Korupsi jelas hanya dapat dilakukan oleh orang yang berijazah tinggi dan bukan oleh tukang becak, blantik sapi atau buruh penggali sumur.

Karenanya, janji Allah hanya akan meninggikan beberapa derajad orang yang berilmu pengetahuan, dan bukan orang yang berijazah. Sialnya orang-orang Barat yang notabene secara formal tidak Islam dan tidak pernah membaca Quran, yang justru mengamalkan janji Allah ini. Terlepas orang-orang Barat tidak pernah bermujahadah, namun mereka sangat hebat berijtihad. Wajar untuk kapasitas tertentu, derajad mereka ditinggikan Allah. Penemuan-penemuan penting sebelum Revolusi Industri dilakukan oleh orang-orang bengkel dan bukan orang-orang persekolahan. Nama-nama seperti Graham Bell, Marconi, Wright Bersaudara, Thomas Edison, James Watt, dst adalah para praktisi bengkel yang rajin “iqro” dan tekun berjihad dan berijtihad. Jihad artinya bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita dan pemikirannya.

Sebaliknya kita, sangat rajin bermujahadah, namun sangat malas untuk beriqro dan berijtihad. Negeri ini sangat kaya ilmuwan dan ulama fiqh, dan sedikit ulama atau ilmuwan yang rajin iqro dan berijtihad. Al Quran yang mestinya sebagai sumber ilmu, hanya ditimang dan dilombakan dalam MTQ, meski ini juga tidak salah. Maksud saya alangkah indahnya jika Quran selain dibaca dan dilombakan secara indah dan estetis, namun juga digali ilmunya. Dalam kitab ini Allah menebar ilmu, entah itu ilmu biologi, kimia, geologi, astronomi, hukum, ekonomi, demokrasi, dst, sampai cara berdagang yang adil di pasar, cara memperlakukan batu dan rumut, bahkan cara bagaimana bersenggama yang santun pun Quran mengajarkannya.

Ilmu-ilmu geologi mutakhir yang dikagumi saat ini, ternyata sudah ada di Quran ratusan tahun yang lalu. Ayat-ayat tentang: “Apa kamu kira gunung-gunung itu tetap tegak berdiri di tempatnya?“, “Akan Aku (Allah) tumpahkah isi lautan“, dst, adalah ilmu-ilmu tentang kerak bumi dan tsunami yang saat ini matian-matian kita klaim sebagai ilmu yang baru dan sebagian belum terpecahkan.

Singkatnya, Barat yang rajin berijtihad namun kurang bermujahadah menjadi melenceng dalam menyikapi hidup. Akibatnya ilmu-ilmu yang tinggi justru merusak dunia, misalnya untuk mengeksploitasi, menjajah dan untuk berperang. Sebaliknya kita yang rajin bermujahadah, sangat jarang berijtihad, akhirnya hanya menjadi arif namun tidak memiliki keahlian atau kecerdasan untuk mengatasi dunia ini. Banyak kiai, ulama, atau intelektual yang hebat pengetahuan agamanya, namun tidak dapat membumi dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat. Mereka hanya sangat fasih bertentangan dalam hal apakah ketika berkutex itu sah wudlunya atau tidak, dibandingkan suntuk menggali samudera pengetahuan yang maha luas ini. Dua-duanya sangat tidak disukai Allah. Padahal Ad-Dzariat 56 sudah jelas perintahnya.

Mestinya yang disebut mahasiswa atau murid harus rajin iqro, jihad ber-ijtihad sekaligus ber-mujahadah. Ini laku yang maha penting. Dalam fiolosofi Jawa ada istilah “Ngelmu iku kelakone kanthi laku“. Kita tidak dapat menguasai ilmu dan memanfaatkannya jika tidak ikut berenang, berkontemplasi, serta mencari dengan kesungguhan. Dengan kata lain, yang namanya murid itu mestinya “berkehendak” sesuai asal kata “murid”. Namun yang terjadi orang bersekolah atau berkuliah, hanya menyodorkan otak kosong dan rendahnya kehendak untuk menguasai ilmu. Wajar jika plagiarisme menjadi santapan sehari-hari dunia pendidikan kita. Wajar lembaga-lembaga bimbingan tes atau pembuat skripsi/tesis/disertasi sangat laris bak jualan togel. Kalau tidak percaya, coba tanya seorang remaja yang bernama M. Ainun Nadjib, yang pada tahun 70-an, ketika usianya baru belasan tahun, sudah mampu membuatkan puluhan skripsi bagi para calon sarjana yang bodoh dan malas di Yogyakarta.

Sekarang kembali dan bandingkan dengan ilmuwan Barat. Mereka mengamalkan Quran dan falsafah Jawa tersebut dengan baiknya. Mereka rajin “iqro”, untuk membaca fenomena alam dan fenomena sosial. Di TV swasta dapat dilihat kegigihan ilmuwan Barat, yang hanya untuk sekadar mempelajari tingkah laku simpanse atau sekelompok laba-laba, ia rela hidup bertahun-tahun di hutan ! Mana ada ilmuwan kita yang seperti ini? Bahkan pemenang Nobel untuk pemetaan DNA, penelitiannya sudah dilakukan sejak tahun 1953 dan baru mendapat Nobel lima puluh tahun kemudian! Betapa suntuknya mereka mengembangkan ilmu.

Jelas bahwa para ilmuwan maupun mereka yang memiliki jabatan profesor dan gelar doktor, mestinya menyadari bahwa gelar atau jabatannya adalah titik awal untuk berkarya, dan bukan “tujuan”. Karena jika jabatan profesor hanya sebagai “tujuan”, maka ia diibaratkan akan seperti sebatang “pohon pisang” saja, yakni “sekali berbuah setelah itu mati“. Seorang profesor mestinya laksana sebuah sumur yang semakin banyak ditimba, semakin agung airnya. Karenanya di luar negeri ada rasa malu jika seorang profesor sudah tidak berkarya lagi di almamaternya. Sebutan “publish or perish” menggambarkan kesetiaan seorang profesor di luar negeri atas komitmen ilmiahnya sekaligus komitmen terhadap kejujuran nuraninya.

Di negara-negara maju kalau seseorang memiliki jabatan profesor, hampir dapat dipastikan ia adalah ilmuwan yang “kampiun”. Ia sosok yang sangat “haus” ipteks. Bahkan saking hausnya, banyak profesor di AS dan Australia, suntuk meneliti di Indonesia secara “khusyuk”.

Sebut saja para profesor seperti William Liddle dari Ohio State University, Richard Robison, Clifford Geertz, Herbert Feith, Sidney Jones, Terrence Hull, Gavin Jones, dst. Bahkan seorang antropolog wanita asal AS (saya lupa namanya) konon kawin dengan Kepala Suku di Lembah Baliem Papua, “hanya” agar dirinya lebih mudah meneliti perilaku sosial suku tersebut. Serpihan contoh ini hanya sekadar menggambarkan betapa hausnya para profesor akan ilmu pengetahuan. Baginya ada kepuasan batin yang tiada tara ketika berhasil menganalisis berbagai fenomena sosial dan alam untuk dijadikan alat memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.

Negeri kita belum sampai ke taraf ini, karena bangsa ini masih bermental gelar formalitas. Bahkan ibadah haji yang setara dengan rukun Islam lainnya juga dibawa-bawa sebagai gelar dan disebut dalam setiap kesempatan. Karenanya dapat dipahami meski jumlah profesor terus bertambah namun tidak berarti ada rumus linier bahwa mereka akan menyumbangkan pemikiran dan penemuannya, apalagi memecahkan masalah kemasyarakatan. Wajar jika kemacetan lalu lintas malahan terus semakin ruwet, banjir tambah parah, jalan tol longsor meski baru dibangun dua bulan, impor beras dan produk-produk pertanian ditingkatkan, dst, meski di kota-kota yang mengalami masalah tersebut merupakan tempat tinggal para profesor. Karya para profesor tersebut belum begitu nampak, mungkin karena kesibukannya dalam menata kampusnya, lembaganya, instansinya, dst.

Ijazah Maiyah dan Budaya Akademik Universitas

Dari sketsa tersebut, maka mestinya Islam harus “diradikalisasi”. Islam harus beranjak dari sekadar budaya fiqh ke budaya syariah muamallah, Islam harus beranjak dari tafsiran-tafsiran yang hanya bersifat intuitif menjadi rasional (ilmiah). Islam harus dirubah dari sekadar disikapi secara spontanitas menjadi Islam yang organisatoris, dari yang mekanik menjadi dinamik, dari personal ke yang sistemik. Islam mesti menjadi agama yang kompet, yakni agama atas agama, yang melintasi “agama” instink, intelek dan agama wahyu.

Ijazah Maiyah yang digagas dan direalisasikan di Surabaya 14 Nopember 2011 yang lalu dimaksudkan untuk memberi penghargaan orang-orang yang sudah mampu melampaui agama atas agama. Mereka adalah orang-orang yang sangat suntuk ber S1,S2, S3 bahkan S4 di Universitas Kehidupan. Mereka bukan pemburu secarik kertas ijazah, apalagi berorientasi pasar, namun sudah berhasil menjadi khalifatullah dalam arti sesungguhnya, yang antara lain ditandai oleh lima hal, yakni:

Pertama, mereka benar dalam memilih nilai-nilai hidup sehingga mereka paham fitrahnya sebagai khalifatullah.

Kedua, nilai-nilai hidup dan tindakannya sangat otentik karena dituntun oleh Allah dan hukan oleh iklan atau pengaruh keduniawian lainnya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa kalau menjadi ustadz atau seniman, adalah seniman atau ustadz yang laku di pasaran. Mereka hanya berpikiran bahwa hidup itu untuk beribadah, dan kata ibadah itu luas maknanya, terutama bagaimana dirinya dapat memaksimalkan potensinya agar bermanfaat bagi alam semesta ini.

Ketiga, semua yang mereka lakukan dilandasi penuh kesungguhan karena ini bukan saja sekadar pilihan hidup, namun perintah hidup. Mereka berlandaskan moral atau akhlak dan bukan kesungguhan karena paksaan syariat atau ancaman dosa-pahala, apalagi hanya taat karena ada aturan hukum belaka. 

Keempat, kesungguhan itu harus dibuktikan dalam waktu yang lama, dan ini berarti harus ada nilai kesetiaan.

Kelima, keikhlasan menjadi kata kunci yang sangat penting, karena apa arti kesungguhan jika tidak bertahan lama dan selalu menggerutu?

Muara dari kelima hal tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan para penerima ijazah Maiyah adalah, bahwa mereka melakukan sesuatu bukan karena mereka senang, namun juga melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak mereka senangi karena memang ini pilihan yang baik sebagaimana dituntunkan rasulullah dan Allah SWT.

Dunia persekolahan, khususnya perguruan tinggi, mestinya mencontoh nilai-nilai yang ditawarkan para penerima ijazah Maiyah ini. Jika ini disepakati, berarti perguruan tinggi harus selalu aktif meninjau kelembagaan dan organisasi intern dan isi kurikulum yang digunakan agar mendukung pertumbuhan masyarakat ilmiah yang menjunjung kemartabatan manusia. Kurikulum tidak dirancang untuk menghasilkan lulusan yang seragam dan massal, namun yang mampu menunjang kreativitas, sikap akademis, kepribadian dan kemandirian. Dalam perspektif yang lebih luas, tidak terjebak dalam pengkotakan ilmu, teknologi, seni yang terspesialisasi pada bidang-bidang tertentu secara kaku, namun juga aktif mengembangkan kajian ipteks interdisipliner; agar lulusannya memiliki wawasan interdisipliner.

Selanjutnya mengembangkan budaya keterbukaan, kejujuran dan berorientasi kepada pencapaian prestasi akademik, menjadi kewajibannya. Budaya akademik tersebut harus dijiwai nilai-nilai kebenaran yang tidak hanya berorientasi kepuasan ilmiah-intelektual namun sebagai bagian tanggungjawab moral akademik terhadap lingkungannya. Dengan kata lain pengembangkan kebudayaan akademik harus berorientasi kepada kebebasan akademik yang tidak bertentangan dengan nilai kemartabatan manusia. Idealisme ini dapat tercapai jika kukuh dalam memegang prinsip “otonomi universitas”, yakni tidak mudah terseret pada kepentingan pribadi maupun kepentingan dari luar yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran akademis, kebenaran ilmiah, nilai-nilai kemartabatan manusia.

Jika idealisme tersebut dapat diwujudkan maka perguruan tinggi akan tetap kritis menyuarakan kebenaran akademis, membela kepentingan masyarakat yang tertindas dan terbelakang, melalui cara-cara yang tidak anarkhis dan tidak bertentangan dengan moral dan etika. Para civitas akademika menjunjung tinggi kehormatan universitas, dengan karya-karya yang bermutu sebagai panggilan jiwa yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Untuk menggerakkan dunia ilmiah, perlu pemikiran tentang penghargaan karya-karya dari civitas akademika, dengan penghargaan yang sepadan dan proporsional antara kepentingan akademis dan nonakademis. Artinya perlu pula menerapkan “reward-punishment” yang jelas dan tegas kepada civitas akademika yang melanggar nilai-nilai akademis dan mencederai nama universitas dengan tindakan yang bertentangan dengan moral-etika, dan tidak segan memberi kesempatan kepada dosen muda yang berpotensi; Dedikasi lebih penting daripada sekadar brilyan namun rendah loyalitasnya kepada pendidikan, karya ilmiah dan kepada masyarakat.

Untuk menunjang idealisme tersebut lembaga penelitian harus dikembangkan secara profesional sebagai simbol ilmiah sebuah universitas, dan harus berorientasi kepada kebenaran ilmiah yang inovatif dan berpihak kepada nilai-nilai kemartabatan manusia dan peradaban. Lembaga penelitian tidak hanya sekadar memberikan solusi praktis kepada masyarakat, bangsa dan negara, namun juga pengembangan teori, konsep baru dan memperluas kerjasama dengan institusi lain yang ditujukan bagi kemartabatan umat manusia.

Untuk mengembangkan budaya meneliti, ada proses yang rutin dalam pengembangan budaya “curiosity“, semangat akademis, semangat kerjasama, ketekunan, kedisiplinan, tanggungjawab ilmiah, dan daya imajinasi yang tinggi, baik lewat lomba, seminar, lokakarya, pelatihan, “peer-group“, dan sebagainya yang tidak terlalu tergantung kepada kelengkapan fasilitas. Untuk itu mental untuk maju yang dikedepankan. Jarak sosial antara profesor-doktor, pejabat, dengan dosen-mahasiswa harus diperdekat agar terjadi budaya dialog-kritis untuk tidak menghambat pengembangan ipteks. Kehormatan civitas akademika (profesor-doktor-dosen-pejabat) ditentukan oleh bobot intelektualitas, komitmen dan kejujuran di segala bidang kehidupan. Menghindarkan civitas akademika dan universitas sebagai penopang kekuatan tertentu, namun terus mendorong perguruan tinggi sebagai penopang peradaban dan nilai-nilai kemartabatan.

oleh

Minggu, 14 Oktober 2012

EMPAT RETAKAN JIWA BANGSA NUSANTARA by EMHA AINUN NADJIB

Pengantar BangbangWetan Mei 2012

 

“Perahu Retak” aslinya adalah judul sebuah lakon teater di awal 1980an yang berkisah tentang sejarah Nusantara pada awal abad 15. Inti kandungannya adalah kegagalan Bangsa (yang pernah sangat besar) Nusantara untuk menemukan kepribadian sosialnya sesudah punahnya kekuasaan besar Kerajaan Majapahit.

Kepribadian sosial bisa direntang ke hamparan konteks yang lebih luas. Misalnya, ideologi sosial, suatu landasan filosofis yang menentukan bagaimana sebuah bangsa mengambil keputusan di dalam membangun Kerajaan atau (sekarang) Negara, dengan segala perangkatnya, dari konstitusi, hukum, persambungan sosial-budaya, strategi sejarah, sistem perekonomian, hingga karakter kemanusiaan di dalam membangun atau memelihara kebudayaan, serta yang lebih besar: peradaban.

Mungkin lebih jelas kalau cara pandangnya kita tujukan langsung pada keadaan bangsa Indonesaia saat ini, yang kehilangan segala-galanya, kehilangan ukuran hampir di segala hal yang besar maupun yang kecil. Kehilangan dari kepribadian kebangsaan yang besar, kehilangan pengetahuan tentang diri sendiri sebagai bangsa, masyarakat maupun manusia. Kehilangan ilmu untuk mengolah sejarahnya, kehilangan pengetahuan untuk mengelola sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan rakyat, tidak memahami kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak apapun saja kecuali bernafsu mengejar materi dan harta benda, itupun salah berat konsepnya tentang materi dan harta benda.

Embrio kemusnahan kepribadian sosial Bangsa Nusantara itu dimulai secara substansial di akhir era Majapahit. Mulai retaknya kepribadian Bangsa Nusantara itu yang disebut “Perahu Retak”, di mana lakon teater ini berkisah tentang upaya “Seorang Pengelana” untuk menghindarkan kemusnahan yang lebih total. Pengelana itu hadir di bumi sebagai Syekh Jangkung (ketika itu diperankan oleh Joko Kamto, yang juga memerankan Smarabhumi di “Tikungan Iblis” dan Ruwat Sengkolo di “Nabi Darurat”).

Majapahit tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai kesejahteraan, tapi juga kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga bermartabat. Dan pangkal pencapaian ini terletak di tangan Mahapatih Gadjah Mada.

Kebesaran Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa diulangi atau ditiru, kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai untuk memelihara martabat sejarah. Pertanian tulang punggung perekonomian Majapahit runtuh oleh semburan dan rambahan lumpur dari perut bumi di wilayah Canggu. Kenyataan itu membuat Majapahit pasti akan hancur meskipun tidak ada manusia lain di luar Majapahit.

Tanpa semburan lumpurpun kebesaran Gadjah Mada akan meretakkan psikologi rakyat Majapahit di era-era sesudahnya, karena semakin lama semakin mengalami degradasi oleh tiadanya tokoh sekaliber Gadjah Mada. Memelihara apa yang pernah diperjuangan dan kemudian dipanggul oleh Gadjah Mada sajapun tak mampu. Raja Majapahit terakhir, Nyoo Lay Wa (lebih tepat disebut Gubernur salah satu wilayah Kerajaan Demak) dibunuh oleh rakyatnya sendiri karena dianggap tidak mampu membangkitkan kembali kebesaran Majapahit.

Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih merupakan kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi sesudah Majapahit benar-benar mengalami “Sirno Ilang Kertaning Bumi”, kebesaran Gadjah Mada berubah menjadi trauma. Itulah salah satu retakan terpenting psikologi sejarah Bangsa Nusantara.

Hari ini, retakan itu sudah tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia bukan hanya tidak sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang pernah mereka capai. Bahkan ummat manusia Republik Indonesia sekarang ini tidak percaya bahwa nenek moyang mereka pernah mencapai kebesaran sejarah di muka bumi. Anak-anak muda, bahkan banyak kalangan kaum intelektual, terutama cara berpikir Penguasa dan Media Massa, malah mengejek setiap ucapan yang menyebut kebesaran kita di masa silam.

Hari ini bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bangsa yang hidup tenteram dengan ketenangan untuk mengejek dirinya sendiri, bahkan penuh kebanggaan untuk menghina dan merendahkan dirinya sendiri.

Sunan Ampel dan seluruh Dewan Wali Sembilan sepakat mempercayakan kepada Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga untuk berjuang merekatkan kembali retakan-retakan yang terjadi pada Bangsa Nusantara.

Disain Kalijagan sangat dahsyat. Ia melakukan konsientisasi dan persiapan kebangkitan langsung ke diri Prabu Brawijaya V sendiri beserta keluarganya. Kemudian lapisan berikutnya: Angkatan Bersenjata Majapahit dan para Dewan Sesepuh Kerajaan. Kanjeng Sunan Kalijaga dengan tandas dan efektif serta dalam waktu yang relatif singkat mengeksekusi transformasi Kerajaan Majapahit menuju Kesultanan Demak. Melakukan reformulasi kenegaraan dari Kerajaan Kesatuan ke Persemakmuran Perdikan-Perdikan. Dengan langsung menyebar kader-kader utamanya, yakni sebagian besar dari 117 putra Prabu Brawijaya V untuk menjadi Kepala-Kepala Tanah Perdikan di seantero Nusantara.

Sebagai contoh Harya Dewa Ketuk dijadikan Kepala Tanah Perdikan di Bali, Harya Lembu Peteng di Madura, Harya Kuwik di Kalimantan, Retna Bintara di Nusabarong, Jaka Prabangkara di Dataran Negeri Cina, serta berpuluh-puluh lain di berbagai “Negara Bagian” dan rata-rata menjadi legenda di tempat masing-masing; Syekh Belabelu, Betoro Katong, Ki Ageng Mangir, dlsb. Puncak dari semua adalah putra Brawijaya V ke-13 Raden Jaka Praba atau Raden Patah diangkat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi penerus Bapaknya dalam transformasi di Kasultanan Demak Bintoro.

Akan tetapi itu semua justru menunjukkan jenis retakan lain pada kejiwaan Bangsa Nusantara. Kanjeng Sunan Kalijaga tidak pernah menyangka hal itu, padahal beliau dianugerahi hidup dengan usia sangat panjang, melalui empat zaman di mana beliau berperan langsung sebagai Pemangku Sejarah.

Bangsa Nusantara tidak sanggup menanggung sekaligus empat tantangan di dalam jiwa dan alam berpikirnya.

Tantangan pertama, trauma kebesaran Gadjah Mada.

Kedua, tantangan yang berupa datangnya bangsa Portugis yang membayang-bayangi kedaulatan mereka, yang berkeliaran di lautan-lautan Nusantara tanpa mereka memiliki kepemimpinan, kesatuan dan peralatan sebagai di masa lalu tatkala Gadjah Mada memimpin.

Ketiga, datangnya alam pikiran baru, spiritualitas Bumi Langit baru yang berupa Agama Islam.

Keempat, ketidak-siapan mereka untuk mandiri dan otonom, untuk hidup dalam semacam Persemakmuran Kemandirian, dan bukan hidup menjadi satu kesatuan tidak di bawah Raja Besar sebagaimana di jaman kejayaan Majapahit.

Sirnanya kebesaran Majapahit membuat rakyatnya uring-uringan sendiri dan bertengkar sehingga bermunculan faksi-faksi sosial atau pengelompokan-pengelompokan yang bermacam-macam dengan tujuan untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.

Datangnya kekuatan dari Eropa juga bukan mempersatukan mereka, melainkan menambah koloni-koloni untuk menyelamatkan diri masing-masing berdasarkan satuan-satuan sosial seketemunya saat itu. “Kelemahan” sejarah mereka antara lain adalah karena jenis ekspansi kolonialisme yang dilakukan oleh Gadjah Mada bukan murni imperialism dan penjajahan kekuasaan, melainkan bersemangat pemersatuan dengan watak memangku semua wilayah yang dipersatukan. Sebab memang demikian filosofi dasar Bangsa Jawa sejak ribuan tahun sebelumnya. “Seharusnya” mereka lebih kejam, sehingga terlatih juga untuk mempertahankan diri terhadap kekejaman yang datang.

Datangnya Islam juga menimbulkan pemecahan sosial dalam satuan yang berbeda. Kekuatan dan kebijaksanaan yang diselenggarakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sangat mencukupi muatan nilai-nilainya untuk mempersiapkan Bangsa Nusantara menjalankan transformasi, tetapi yang tak bisa ditaklukkan oleh Kalijaga adalah hakekat waktu. Bahwa Bangsa Nusantara memerlukan waktu yang panjang untuk menjadi Kaum Muslimin yang matang dan berpengalaman mengantisipasi tantangan-tantangan.

Pada saat yang sama Raden Patah memimpin mereka tidak dengan metoda dan kekuatan seperti Bapak dan kakek-kakeknya, karena beliau adalah salah satu murid utama Sunan Kalijaga yang mendidiknya berfikir secara “rahmatan lilalamin”. Raden Patah menawarkan rintisan Demokrasi, otonomi daerah, peralihan cara berpikir dari “kawulo” ke “khalifatullah”, persemakmuran yang saling berangkai, dan seterusnya. Dan ‘mantan’ rakyat Majapahit tidak siap.

Empat retakan atau berbagai ketidak-siapan itu melahirkan beragam-ragam perpecahan dan konflik. Ada konflik atas dasar hak kekuasaan, itu berlangsung di kalangan keluarga Kerajaan yang cabang-cabang pohon nasabnya sudah sangat besar dan lebar.

Ada konflik karena kepentingan tanah dan harta benda, yang membuat berbagai wilayah bekas Majapahit memisahkan diri: semangatnya bukan kemandirian dalam persemakmuran bersama, melainkan egosentrisme kekuasaan di lokal-lokal.

Ada juga yang sangat parah adalah konflik di wilayah tafsir Agama. Antara yang menolak Islam dengan yang menerima Islam. Antara yang menerima Islam sebagai suatu entitas menyeluruh dengan yang mengambil Islam untuk disinkretisasikan dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Antara yang puritan menerima Islam tanpa kearifan budaya dengan yang merancukan Islam dengan tradisi budaya. Antara individu atau kelompok masyarakat yang kadar penerimaannya terhadap Islam berbeda-beda, bertingkat-tingkat.

Berbagai-bagai tema perpecahan merebak ke segala penjuru, menciptakan polaritas-polaritas baru yang bersaling-silang. Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga merupakan semacam “padatan Muhammad kecil” bekerja dan berjuang sangat keras dalam skema sosial yang penuh retakan-retakan semacam itu.

Meskipun beliau merambah ke delapan penjuru angin, memasuki bilik-bilik Kraton hingga mengurusi kaum tani di pelosok dan para gelandangan, “hanya” berhasil menanam infrastruktur nilai-nilai sejarah baru yang sangat Islami dan dahsyat, namun memerlukan kontinyuasi dan akselerasi perjuangan pada para pelaku di zaman berikutnya.

Perjuangan Sunan Kalijaga itu bahkan “terganggu” sangat serius oleh keras dan meluasnya konflik-konflik pada Masyarakat Nusantara yang semakin kehilangan kepribadian sosialnya. Beliau mengawal berdirinya Kesultanan Demak sampai beberapa Sultan, dengan keadaan di mana kepemimpinan Demak belum cukup matang untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam Kalijagan, dan pada saat yang sama rakyat Demak juga kurang terdidik untuk menjadi pelaku yang sadar dan aktif dari reformulasi Kalijagan.

Kiai Kanjeng Sunan juga kemudian mengawal kesultanan Pajang yang semakin mengalami degradasi nilai-nilai. Dan ketika kemudian Mas Karebet, Sultan Hadiwijaya, Raja terakhir Pajang, menyerahkan kontinyuasi kepemimpinannya kepada anak angkatnya, Sutawijaya, dengan mendirikan Kerajaan (bukan Kesultanan) Mataram, maka saat itulah lahir Indonesia….

Syekh Jangkung (nama aslinya Saridin, sari-nya ad-Din), Pengelana yang dikisahkan dalam “Perahu Retak” adalah cucu murid Kanjeng Sunan Kalijaga melalui Sunan Kudus muridnya.

Ia memohon diperkenankan mengakselerasi perjuangan Sunan Kalijaga yang saat itu sudah sangat sepuh. Syekh Jangkung mencoba melakukan recovery dan rekonstruksi kepribadian Islam Nusantara melalui Raden Mas Kalong (kalong: pengelana), putra sulung Pangeran Benowo, seorang yang seharusnya memegang kuasa untuk mengembalikan etos Demak di ujung Pajang.

Pangeran Benowo pergi menyingkir dari Kesultanan karena tidak tahan hati menyaksikan multi-konflik yang terus berlangsung dan makin parah. Sehingga kekuasaan kemudian dipegang oleh tokoh yang tidak berada pada garis nasab Majapahit (dan sempalan inilah yang kemudian menjadi Kraton Pakubuwanan dan Hamengkubuwanan yang masih ada sampai hari ini).

Syekh Jangkung mengajak Kalong berkeliling membangun Masyarakat Nusantara Baru, berusaha menyelesaikan berbagai konflik dengan metoda sebagaimana yang diajarkan secara sangat mendalam namun bijak oleh Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangkung dan Kalong berusaha “memaiyahkan” Masyarakat Nusantara, namun jatah waktu kehidupan beliau tidak mencukupi, sebagaimana Sunan Kalijaga sendiri “seharusnya” berusia tiga kali lipat dari 126 tahun.

Mataram adalah Indonesia kecil yang “meresmikan” retakan-retakan mental dan cara berpikir Bangsa Nusantara. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Mataram besar yang memuncaki keretakan itu, sampai pada tahap bagaikan tiada lagi Nusantara ini, dari berbagai sudut pandang, cara pandang maupun jarak pandang.

Hari ini dan seterusnya, Anda semua para Jamaah Maiyah adalah Jangkung-Jangkung Kalong-Kalong yang sedang ditantang oleh sejarah.

Muhammad Ainun Nadjib
Yogya 6 Mei 2012