Lir-ilir, Lir-ilir,
Tandure wus sumilir,
Tak ijo royo-royo, Tak sengguh penganten anyar.
Cah angon – cah angon, Penekno blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu ya penekno, Kanggo mbasuh dodotiro.
Dodotiro – dodotiro, Kumitir bedah ing pinggir,
Dondomana jlumatana, Kanggo seba mengko sore.
Mumpung padang rembulane, Mumpung jembar kalangane,
Yo suraka, surak hiyo.
Uraian “Lir-ilir Tandure Wis Sumilir”
Kata
Lir-ilir berasal dari bahasa Jawa “Ngelilir” yang bahasa Indonesianya
ialah terjaga / bangun dari tidur. Maksudnya ialah, orang yang belum
masuk (agama Islam) dikatakan masih tidur / belum sadar.
Pada
tembang di atas, kata “Lir-ilir, Lir-ilir” (diulang sebanyak dua
kali), maksudnya ialah “bangun-bangun”, bangun ke alam pemikiran yang
baru, yaitu Islam.
Sedangkan baris “tandure wis sumilir”, terdiri dari :
“tandure” berarti “benih” yang ditanam.
“wis sumilir” berarti sudah tumbuh.
Jadi, baris “tandure wis sumilir” sama dengan benih yang ditanam sudah mulai tumbuh. Benih di sini berarti iman, yaitu iman Islam.
Pada
dasarnya semua manusia yang terlahir di muka bumi ini telah
dianugerahi benih berupa iman oleh Allah swt. Disadari atau tidak
bergantung pada orang-orang yang bersangkutan. Jika orang yang
bersangkutan tersebut “sadar” akan adanya benih itu dalam dirinya dan
mau merawat dengan baik setiap harinya, maka benih itu akan tumbuh
subur, tentunya akan menghasilkan buah yang baik pula.
Perawatan benih iman itu dapat berupa :
-Membaca Al Quran atau bacaan-bacaan Islam lainnya.
-Menghadiri pengajian.
-Mendengarkan khutbah mimbar agama Islam
-Menjalin hubungan baik / silaturrahmi dengan sesama.
Masih banyak lagi pupuk-pupuk / makanan rohaniah lainnya, yang tentunya dilaksanakan dengan penuh keikhlasan.
Uraian “Tak Ijo Royo-Royo, Tak Sengguh Pengantin Anyar”
“Tak
ijo royo-royo” – Dibuat tumbuh subur, daunnya hijau nan segar. Maksud
kalimat tersebut nampaknya menekankan “penampilan" tentang pribadi
muslim yang menyenangkan. Adanya benih iman yang selalu dirawat yang
menjadikan pribadi muslim sehat jasmani dan rohani. “Ijo-royo-royo”
merupakan lambang tanaman yang subur karena dirawat dengan baik.
“Tak
sengguh penganten anyar” – pengantin baru. Pengantin ialah pasangan
mempelai. Analogi ini disangkutkan dengan manusia atas keyakinan
imannya, yang baru bertemu menjadi pengantin. Pasangan / pengantin
baru ialah orang yang sangat berbahagia hidupnya. Begitu pula dengan
“tak sengguh penganten anyar,” orang yang telah bersanding dengan
keyakinan iman Islam.
Jadi, maksud dari “Tak ijo
royo-royo, tak sengguh pengantin anyar” berarti benih iman seseorang
yang dirawat dengan baik akan menghasilkan seorang muslim yang baik
pula. Kebahagiaan seorang muslim di sini ibarat pengantin baru.
Iman
yang kokoh yang digambarkan dengan “tak ijo royo-royo” tadi, haruslah
selalu dijaga dan dirawat dengan baik. Tumbuhan bisa tidak “tak ijo
royo-royo” lagi bila terkena hama. Analogi ini bisa kita kaitkan dengan
iman seorang muslim.
Penjagaan iman supaya tetap kokoh
haruslah mampu menghalau hama-hamanya (contoh : tindakan kemungkaran).
Berjudi, mencuri, zina, minum minuman keras, dan sejenisnya merupakan
hama iman yang harus segera dibasmi.
Uraian “Cah Angon – Cah Angon, Penekno Blimbing Kuwi”
“Cah
angon” berarti anak gembala. Kata-kata tersebut diulang bahkan dua
kali, yang berarti di sini terdapat penekanan, adanya perintah yang
penting. Perintahnya yaitu : “penekno blimbing kuwi” (panjatlah
belimbing itu). Perintah ini diberikan kepada bawahan / kedudukan yang
lebih rendah dari atasan / kedudukan yang lebih tinggi. Analogi ini
sepintas berkesan “orang tua yang memerintah anaknya.”
Mengapa
yang harus diperintah ialah “cah angon?” Ada gembala, pasti ada yang
digembalakannya. Arti cah angon (bukan hanya anak semata) ialah
manusia. Manusia yang sebagai gembala menggembalakan nafsu-nafsunya
sendiri. Nafsu-nafsu yang dimiliki setiap orang ini, kalau tidak
digembalakan, bisa merusak dan tentunya banyak melanggar perintah /
aturan agama. Pribadi manusia haruslah bisa berperan sebagai gembala
yang baik. Intinya, “cah angon” merupakan sebutan yang diperuntukkan
untuk seorang muslim yang menjadi gembala atas nafsu-nafsunya sendiri.
“Penekno
blimbing kuwi.” Ini bukan berarti harus memanjat buah belimbingnya,
namun “panjatlah pohon belimbing itu.” Perintah yang harus dipanjat
ialah pohon belimbingnya (untuk meraih buahnya). Timbul pertanyaan,
mengapa harus belimbing yang dijadikan contoh di sini, kok tidak
durian atau strawberi?
Kita tahu bahwa belimbing mempunyai
5 sisi. Nah gambaran ini sebenarnya merujuk kepada rukun Islam yang
lima yaitu dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, haji.
Uraian “Lunyu – Lunyu yo Penekno kanggo Mbasuh Dodotiro”
Bahasa
Indonesia dari “Lunyu-lunyu yo penekno” ialah “Meskipun licin, tetap
panjatlah” (baris ini berhubungan dengan baris sebelumnya “Cah
angon-cah angon, peneken blimbing kuwi”).
Licin merupakan
sebuah penghambat bagi si pemanjat. Haruslah memanjat dengan
sungguh-sungguh dan hati-hati. Jika tidak, maka akan tergelincir
jatuh.
Sama halnya dengan perintah agama. Jika tidak
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin bila
tergelincir ke neraka. Analogi secara kasat mata, jalan turun memang
lebih mudah daripada jalan naik, jalan menuju neraka lebih mudah
daripada jalan menuju ke surga. Bukankan minum minuman keras, judi,
berzina, berdusta, memfitnah lebih mudah daripada mencegah
kemungkaran, mengerjakan sholat dan berpuasa? Namun, bagi “cah angon”
yang taat, perintah Allah untuk memanjat “blimbing” tadi bukanlah beban
dan bukan sesuatu yang berat baginya (untuk meraih buah yang lezat,
yaitu surga).
“Kanggo mbasuh dodotiro” mempunyai maksud :
berguna untuk membersihkan atau mensucikan kepercayaan kita, hingga
benar-benar menjadi kepercayaan yang suci. Dodot ialah pakaian
kebesaran di lingkungan kraton. Dodot = pakaian. Analogi ini
diibaratkan sebagai “kepercayaan.” Pada zaman “WaliSongo” dulu, banyak
orang yang memeluk agama Hindu, Buddha, dan Animisme. Hal-hal seperti
itu dicuci dengan “iman Islam” oleh WaliSongo, hingga jadilah agama
yang bersih dan benar yaitu agama Islam. Salah satu pembersihnya yaitu
rukun Islam yang lima.
Uraian “Dodotiro – Dodotiro Kumitir Bedah ing Pinggir, Dondomana Jlumatana, Kanggo Seba Mengko Sore”
Keterangan
sebelumnya menerangkan bahwa “dodot” untuk menggambarkan agama atau
kepercayaan yang dianut. “Kumitir bedah ing pinggir” artinya : banyak
robekan-robekan di bagian tepi.
Berikutnya terdapat
perintah “dondomana jlumatana” – dijahit/diperbaiki. Pakaian yang rusak
tadi hendaklah diperbaiki agar pantas dipakai lagi.
Demikian
halnya dengan kepercayaan kita. Bila rusak (karena dosa-dosa yang
telah dilakukan), hendaknya diperbaiki dengan jalan memohon ampun
kepada Allah (taubat) dan melakukan rukun Islam sebaik-baiknya.
“Kanggo
seba” mengandung arti : “datang, mengahadap Yang Maha Kuasa, yaitu
Allah.” Sedangkan “sore” mengandung maksud “akhir dari perjalanan.” –
Akhir dari perjalanan manusia.
Jadi, maksud dari “Kanggo
seba mengko sore” yaitu : “untuk menghadap Allah nanti bila perjalanan
hidup sudah berakhir.” Hikmahnya yaitu bagaima kita melaksanakan
perintah dalam mengamalkan rukun Islam dengan baik sebagai bekal untuk
menghadap Allah kelak ketika hidup sudah berakhir.
Uraian “Mumpung Padang Rembulane, Mumpung Jembar Kalangane”
Terjemahan
bahasa Indonesia-nya ialah : “selagi terang sinar bulannya, selagi
luas kalangannya.” [ terang bulan yang jelas saat malam hari.]
Tanpa
cahaya bulan pada malam hari (tanpa penerang apapun) akan gelap
gulita, tidak dapat melihat apa-apa. Maksudnya, disaat “gelap” orang
akan sulit (bahkan tidak mampu) membedakan yang haq dan batil (mana yang
baik/benar dan mana yang buruk/salah/haram).
Namun,
pada suasana gelap itu sesungguhnya terdapat “sinar penerangan” dari
cahaya bulan (Sinar Islam), sehingga bisa nampak jelas mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang haq dan mana yang batil.
“Mumpung jembar kalangane” – Luas cakupan sinar bulan, mampu menerangi daerah yang luas.
Jadi,
maksud dari “Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane”
adalah mumpung masih ada kesempatan bertaubat untuk meraih surga (menek
blimbing) itu / untuk melaksanakan perintah agama, yaitu rukun Islam
yang lima tadi. Hal ini dikarenakan dengan adanya Sinar Islam itu,
kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kesempatan
yang baik dan luas itu jangan sampai disia-siakan begitu saja. Semua
itu merupakan ajakan untuk seluruh umat manusia agar melaksanakan
kelima rukun Islam dengan baik dan benar.
Uraian “Yo Surako, Surak Hiyo”
Baris
di atas (mari bersorak-mari bersorak) ialah ajakan untuk bersorak.
Sorak merupakan ekspresi kebahagiaan dan kesenangan bagi yang
bersangkutan.
Mengapa harus berbahagia? Tak lain ialah
karena ia sudah berhasil melaksanakan perintah “Penekna blimbing kuwi,
lunyu-lunyu ya penekna.” Bahagia atau senang ini diperoleh sebagai
hadiah dari pekerjaannya “menanjat belimbing itu” (surga).
Inti
dari baris tersebut ialah, mengajak “Si Cah Angon” (seorang muslim)
yang telah melaksanakan perintah “penekna blimbing kuwi” dengan baik,
untuk berbahagia karena akan memperoleh pahala yang berupa surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar