Pengantar BangbangWetan Mei 2012
“Perahu Retak” aslinya adalah judul sebuah lakon teater di awal
1980an yang berkisah tentang sejarah Nusantara pada awal abad 15. Inti
kandungannya adalah kegagalan Bangsa (yang pernah sangat besar)
Nusantara untuk menemukan kepribadian sosialnya sesudah punahnya
kekuasaan besar Kerajaan Majapahit.
Kepribadian
sosial bisa direntang ke hamparan konteks yang lebih luas. Misalnya,
ideologi sosial, suatu landasan filosofis yang menentukan bagaimana
sebuah bangsa mengambil keputusan di dalam membangun Kerajaan atau
(sekarang) Negara, dengan segala perangkatnya, dari konstitusi, hukum,
persambungan sosial-budaya, strategi sejarah, sistem perekonomian,
hingga karakter kemanusiaan di dalam membangun atau memelihara
kebudayaan, serta yang lebih besar: peradaban.
Mungkin lebih jelas
kalau cara pandangnya kita tujukan langsung pada keadaan bangsa
Indonesaia saat ini, yang kehilangan segala-galanya, kehilangan ukuran
hampir di segala hal yang besar maupun yang kecil. Kehilangan dari
kepribadian kebangsaan yang besar, kehilangan pengetahuan tentang diri
sendiri sebagai bangsa, masyarakat maupun manusia. Kehilangan ilmu untuk
mengolah sejarahnya, kehilangan pengetahuan untuk mengelola
sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan rakyat, tidak memahami
kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak apapun saja kecuali bernafsu
mengejar materi dan harta benda, itupun salah berat konsepnya tentang
materi dan harta benda.
Embrio kemusnahan kepribadian sosial
Bangsa Nusantara itu dimulai secara substansial di akhir era Majapahit.
Mulai retaknya kepribadian Bangsa Nusantara itu yang disebut “Perahu
Retak”, di mana lakon teater ini berkisah tentang upaya “Seorang
Pengelana” untuk menghindarkan kemusnahan yang lebih total. Pengelana
itu hadir di bumi sebagai Syekh Jangkung (ketika itu diperankan oleh Joko Kamto, yang juga memerankan Smarabhumi di “Tikungan Iblis” dan Ruwat Sengkolo di “Nabi Darurat”).
Majapahit
tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai kesejahteraan, tapi juga
kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga bermartabat. Dan pangkal
pencapaian ini terletak di tangan Mahapatih Gadjah Mada.
Kebesaran
Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa diulangi atau ditiru,
kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai untuk memelihara
martabat sejarah. Pertanian tulang punggung perekonomian Majapahit
runtuh oleh semburan dan rambahan lumpur dari perut bumi di wilayah
Canggu. Kenyataan itu membuat Majapahit pasti akan hancur meskipun tidak
ada manusia lain di luar Majapahit.
Tanpa semburan lumpurpun
kebesaran Gadjah Mada akan meretakkan psikologi rakyat Majapahit di
era-era sesudahnya, karena semakin lama semakin mengalami degradasi oleh
tiadanya tokoh sekaliber Gadjah Mada. Memelihara apa yang pernah
diperjuangan dan kemudian dipanggul oleh Gadjah Mada sajapun tak mampu.
Raja Majapahit terakhir, Nyoo Lay Wa (lebih tepat disebut
Gubernur salah satu wilayah Kerajaan Demak) dibunuh oleh rakyatnya
sendiri karena dianggap tidak mampu membangkitkan kembali kebesaran
Majapahit.
Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih
merupakan kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi sesudah Majapahit
benar-benar mengalami “Sirno Ilang Kertaning Bumi”, kebesaran Gadjah
Mada berubah menjadi trauma. Itulah salah satu retakan terpenting
psikologi sejarah Bangsa Nusantara.
Hari ini, retakan itu sudah
tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia bukan hanya tidak
sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang pernah mereka capai.
Bahkan ummat manusia Republik Indonesia sekarang ini tidak percaya bahwa
nenek moyang mereka pernah mencapai kebesaran sejarah di muka bumi.
Anak-anak muda, bahkan banyak kalangan kaum intelektual, terutama cara
berpikir Penguasa dan Media Massa, malah mengejek setiap ucapan yang
menyebut kebesaran kita di masa silam.
Hari ini bangsa Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah bangsa yang hidup tenteram dengan
ketenangan untuk mengejek dirinya sendiri, bahkan penuh kebanggaan untuk
menghina dan merendahkan dirinya sendiri.
Sunan Ampel dan seluruh
Dewan Wali Sembilan sepakat mempercayakan kepada Kiai Kanjeng Sunan
Kalijaga untuk berjuang merekatkan kembali retakan-retakan yang terjadi
pada Bangsa Nusantara.
Disain Kalijagan sangat dahsyat. Ia melakukan konsientisasi
dan persiapan kebangkitan langsung ke diri Prabu Brawijaya V sendiri
beserta keluarganya. Kemudian lapisan berikutnya: Angkatan Bersenjata
Majapahit dan para Dewan Sesepuh Kerajaan. Kanjeng Sunan Kalijaga dengan
tandas dan efektif serta dalam waktu yang relatif singkat mengeksekusi
transformasi Kerajaan Majapahit menuju Kesultanan Demak. Melakukan
reformulasi kenegaraan dari Kerajaan Kesatuan ke Persemakmuran
Perdikan-Perdikan. Dengan langsung menyebar kader-kader utamanya, yakni
sebagian besar dari 117 putra Prabu Brawijaya V untuk menjadi
Kepala-Kepala Tanah Perdikan di seantero Nusantara.
Sebagai contoh
Harya Dewa Ketuk dijadikan Kepala Tanah Perdikan di Bali, Harya Lembu
Peteng di Madura, Harya Kuwik di Kalimantan, Retna Bintara di
Nusabarong, Jaka Prabangkara di Dataran Negeri Cina, serta
berpuluh-puluh lain di berbagai “Negara Bagian” dan rata-rata menjadi
legenda di tempat masing-masing; Syekh Belabelu, Betoro Katong, Ki Ageng
Mangir, dlsb. Puncak dari semua adalah putra Brawijaya V ke-13 Raden
Jaka Praba atau Raden Patah diangkat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi
penerus Bapaknya dalam transformasi di Kasultanan Demak Bintoro.
Akan
tetapi itu semua justru menunjukkan jenis retakan lain pada kejiwaan
Bangsa Nusantara. Kanjeng Sunan Kalijaga tidak pernah menyangka hal itu,
padahal beliau dianugerahi hidup dengan usia sangat panjang, melalui
empat zaman di mana beliau berperan langsung sebagai Pemangku Sejarah.
Bangsa Nusantara tidak sanggup menanggung sekaligus empat tantangan di dalam jiwa dan alam berpikirnya.
Tantangan pertama, trauma kebesaran Gadjah Mada.
Kedua,
tantangan yang berupa datangnya bangsa Portugis yang membayang-bayangi
kedaulatan mereka, yang berkeliaran di lautan-lautan Nusantara tanpa
mereka memiliki kepemimpinan, kesatuan dan peralatan sebagai di masa
lalu tatkala Gadjah Mada memimpin.
Ketiga, datangnya alam pikiran baru, spiritualitas Bumi Langit baru yang berupa Agama Islam.
Keempat,
ketidak-siapan mereka untuk mandiri dan otonom, untuk hidup dalam
semacam Persemakmuran Kemandirian, dan bukan hidup menjadi satu kesatuan
tidak di bawah Raja Besar sebagaimana di jaman kejayaan Majapahit.
Sirnanya
kebesaran Majapahit membuat rakyatnya uring-uringan sendiri dan
bertengkar sehingga bermunculan faksi-faksi sosial atau
pengelompokan-pengelompokan yang bermacam-macam dengan tujuan untuk
menyelamatkan dirinya masing-masing.
Datangnya kekuatan dari Eropa
juga bukan mempersatukan mereka, melainkan menambah koloni-koloni untuk
menyelamatkan diri masing-masing berdasarkan satuan-satuan sosial
seketemunya saat itu. “Kelemahan” sejarah mereka antara lain adalah
karena jenis ekspansi kolonialisme yang dilakukan oleh Gadjah Mada bukan
murni imperialism dan penjajahan kekuasaan, melainkan bersemangat
pemersatuan dengan watak memangku semua wilayah yang dipersatukan. Sebab
memang demikian filosofi dasar Bangsa Jawa sejak ribuan tahun
sebelumnya. “Seharusnya” mereka lebih kejam, sehingga terlatih juga
untuk mempertahankan diri terhadap kekejaman yang datang.
Datangnya
Islam juga menimbulkan pemecahan sosial dalam satuan yang berbeda.
Kekuatan dan kebijaksanaan yang diselenggarakan oleh Kanjeng Sunan
Kalijaga sangat mencukupi muatan nilai-nilainya untuk mempersiapkan
Bangsa Nusantara menjalankan transformasi, tetapi yang tak bisa
ditaklukkan oleh Kalijaga adalah hakekat waktu. Bahwa Bangsa Nusantara
memerlukan waktu yang panjang untuk menjadi Kaum Muslimin yang matang
dan berpengalaman mengantisipasi tantangan-tantangan.
Pada saat
yang sama Raden Patah memimpin mereka tidak dengan metoda dan kekuatan
seperti Bapak dan kakek-kakeknya, karena beliau adalah salah satu murid
utama Sunan Kalijaga yang mendidiknya berfikir secara “rahmatan
lilalamin”. Raden Patah menawarkan rintisan Demokrasi, otonomi daerah,
peralihan cara berpikir dari “kawulo” ke “khalifatullah”, persemakmuran
yang saling berangkai, dan seterusnya. Dan ‘mantan’ rakyat Majapahit
tidak siap.
Empat retakan atau berbagai ketidak-siapan itu
melahirkan beragam-ragam perpecahan dan konflik. Ada konflik atas dasar
hak kekuasaan, itu berlangsung di kalangan keluarga Kerajaan yang
cabang-cabang pohon nasabnya sudah sangat besar dan lebar.
Ada
konflik karena kepentingan tanah dan harta benda, yang membuat berbagai
wilayah bekas Majapahit memisahkan diri: semangatnya bukan kemandirian
dalam persemakmuran bersama, melainkan egosentrisme kekuasaan di
lokal-lokal.
Ada juga yang sangat parah adalah konflik di wilayah
tafsir Agama. Antara yang menolak Islam dengan yang menerima Islam.
Antara yang menerima Islam sebagai suatu entitas menyeluruh dengan yang
mengambil Islam untuk disinkretisasikan dengan ajaran-ajaran sebelumnya.
Antara yang puritan menerima Islam tanpa kearifan budaya dengan yang
merancukan Islam dengan tradisi budaya. Antara individu atau kelompok
masyarakat yang kadar penerimaannya terhadap Islam berbeda-beda,
bertingkat-tingkat.
Berbagai-bagai tema perpecahan merebak ke
segala penjuru, menciptakan polaritas-polaritas baru yang
bersaling-silang. Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga merupakan semacam “padatan
Muhammad kecil” bekerja dan berjuang sangat keras dalam skema sosial
yang penuh retakan-retakan semacam itu.
Meskipun beliau merambah
ke delapan penjuru angin, memasuki bilik-bilik Kraton hingga mengurusi
kaum tani di pelosok dan para gelandangan, “hanya” berhasil menanam
infrastruktur nilai-nilai sejarah baru yang sangat Islami dan dahsyat,
namun memerlukan kontinyuasi dan akselerasi perjuangan pada para pelaku di zaman berikutnya.
Perjuangan
Sunan Kalijaga itu bahkan “terganggu” sangat serius oleh keras dan
meluasnya konflik-konflik pada Masyarakat Nusantara yang semakin
kehilangan kepribadian sosialnya. Beliau mengawal berdirinya Kesultanan
Demak sampai beberapa Sultan, dengan keadaan di mana kepemimpinan Demak
belum cukup matang untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam Kalijagan,
dan pada saat yang sama rakyat Demak juga kurang terdidik untuk menjadi
pelaku yang sadar dan aktif dari reformulasi Kalijagan.
Kiai
Kanjeng Sunan juga kemudian mengawal kesultanan Pajang yang semakin
mengalami degradasi nilai-nilai. Dan ketika kemudian Mas Karebet, Sultan
Hadiwijaya, Raja terakhir Pajang, menyerahkan kontinyuasi
kepemimpinannya kepada anak angkatnya, Sutawijaya, dengan mendirikan
Kerajaan (bukan Kesultanan) Mataram, maka saat itulah lahir Indonesia….
Syekh Jangkung (nama aslinya Saridin, sari-nya ad-Din), Pengelana yang dikisahkan dalam “Perahu Retak” adalah cucu murid Kanjeng Sunan Kalijaga melalui Sunan Kudus muridnya.
Ia
memohon diperkenankan mengakselerasi perjuangan Sunan Kalijaga yang
saat itu sudah sangat sepuh. Syekh Jangkung mencoba melakukan recovery
dan rekonstruksi kepribadian Islam Nusantara melalui Raden Mas Kalong
(kalong: pengelana), putra sulung Pangeran Benowo, seorang yang
seharusnya memegang kuasa untuk mengembalikan etos Demak di ujung
Pajang.
Pangeran Benowo pergi menyingkir dari Kesultanan karena
tidak tahan hati menyaksikan multi-konflik yang terus berlangsung dan
makin parah. Sehingga kekuasaan kemudian dipegang oleh tokoh yang tidak
berada pada garis nasab Majapahit (dan sempalan inilah yang kemudian
menjadi Kraton Pakubuwanan dan Hamengkubuwanan yang masih ada sampai
hari ini).
Syekh Jangkung mengajak Kalong berkeliling membangun
Masyarakat Nusantara Baru, berusaha menyelesaikan berbagai konflik
dengan metoda sebagaimana yang diajarkan secara sangat mendalam namun
bijak oleh Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangkung dan Kalong berusaha
“memaiyahkan” Masyarakat Nusantara, namun jatah waktu kehidupan beliau
tidak mencukupi, sebagaimana Sunan Kalijaga sendiri “seharusnya” berusia
tiga kali lipat dari 126 tahun.
Mataram adalah Indonesia kecil
yang “meresmikan” retakan-retakan mental dan cara berpikir Bangsa
Nusantara. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Mataram besar yang
memuncaki keretakan itu, sampai pada tahap bagaikan tiada lagi Nusantara
ini, dari berbagai sudut pandang, cara pandang maupun jarak pandang.
Hari ini dan seterusnya, Anda semua para Jamaah Maiyah adalah
Jangkung-Jangkung Kalong-Kalong yang sedang ditantang oleh sejarah.
Muhammad Ainun Nadjib
Yogya 6 Mei 2012
Yogya 6 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar