Sisi Lain Ijazah Maiyah
Bagi orang awam, ijazah itu hanya simbol yang biasa digunakan dunia
persekolahan bahwa seseorang telah mencapai derajad tertentu, entah itu
lulus SD, SMP, SMA, diploma, sarjana, master, atau doktor. Dari
konstruksi kalimat ini, ijazah bukan tujuan yang harus dicari seseorang,
karena yang dicari adalah ilmu. Faktanya, kalimat ini tidak berlaku
seratus persen. Lihat saja di dunia persekolahan di negeri ini ternyata
banyak diisi oleh kaum akademisi yang logikanya terbalik, yakni ijazah
menjadi tujuan dan penguasaan ilmu menjadi nomor kesekian belas.
Karenanya dapat dipahami jika ijazah menjadi komoditas yang paling
laris. Jual beli ijazah dapat dilakukan terang-terangan, maupun dapat
dilakukan secara tersulubung.
Coba saja
iseng-iseng bertanya kepada seorang murid atau mahasiswa, maukah
mendapat ijazah namun tidak mendapat ilmu, atau sebaliknya mendapat ilmu
namun tidak mendapat ijazah misalnya, maka mahasiswa tersebur akan
bersorak dan koor bersama: ”Yo mesti jelas pilih dapat ijazah
(meski tidak dapat ilmu)”. Demikian juga mahasiswa saya, melihat saya
sangat rajin mengisi kuliah sehingga tidak pernah sekalipun kosong,
mereka malah bertanya: “Lho pak kok gak pernah kosong?” Saya hanya bilang: “Apa kalian ingin tidak ada kuliah saja dan kalian langsung saya kasih ijazah kosong dan diisi sendiri nilainya, mau?” Jawab mereka juga serempak: “Yo mestiiii….” Lalu mereka tertawa dan bertepuk tangan bersama, riuh rendah.
Mengapa
yang dicari ijazah? Karena ijazah juga bisa untuk bekal masuk pegawai
negeri, sedangkan ilmu belum tentu. Buktinya untuk masuk pegawai yang
ditanyakan juga ijazahnya, bukan penguasaan ilmunya.
Cara
memperdagangkan ijazah secara tersembunyi juga marak dilakukan, misalnya
dengan cara mengatrol nilai, baik karena kasihan agar tidak menjadi
mahasiswa abadi maupun karena memang rendah mutu perguruan tinggi yang
bersangkutan. Lihat kasus nyontek massal dalam ujian nasional. Wajar
jika kepemilikan ijazah seseorang tidak berbanding lurus dengan
akhlaknya. Yang terjadi justru hal yang aneh: makin tinggi ijazah yang
dimiliki seseorang, makin tinggi pula tingkat kecanggihannya untuk
mencuri (korupsi). Korupsi jelas hanya dapat dilakukan oleh orang yang
berijazah tinggi dan bukan oleh tukang becak, blantik sapi atau buruh
penggali sumur.
Karenanya, janji Allah hanya akan meninggikan
beberapa derajad orang yang berilmu pengetahuan, dan bukan orang yang
berijazah. Sialnya orang-orang Barat yang notabene secara
formal tidak Islam dan tidak pernah membaca Quran, yang justru
mengamalkan janji Allah ini. Terlepas orang-orang Barat tidak pernah
bermujahadah, namun mereka sangat hebat berijtihad. Wajar untuk
kapasitas tertentu, derajad mereka ditinggikan Allah. Penemuan-penemuan
penting sebelum Revolusi Industri dilakukan oleh orang-orang bengkel dan
bukan orang-orang persekolahan. Nama-nama seperti Graham Bell, Marconi,
Wright Bersaudara, Thomas Edison, James Watt, dst adalah para praktisi
bengkel yang rajin “iqro” dan tekun berjihad dan berijtihad. Jihad
artinya bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita dan pemikirannya.
Sebaliknya
kita, sangat rajin bermujahadah, namun sangat malas untuk beriqro dan
berijtihad. Negeri ini sangat kaya ilmuwan dan ulama fiqh, dan sedikit
ulama atau ilmuwan yang rajin iqro dan berijtihad. Al Quran yang
mestinya sebagai sumber ilmu, hanya ditimang dan dilombakan dalam MTQ,
meski ini juga tidak salah. Maksud saya alangkah indahnya jika Quran
selain dibaca dan dilombakan secara indah dan estetis, namun juga digali
ilmunya. Dalam kitab ini Allah menebar ilmu, entah itu ilmu biologi,
kimia, geologi, astronomi, hukum, ekonomi, demokrasi, dst, sampai cara
berdagang yang adil di pasar, cara memperlakukan batu dan rumut, bahkan
cara bagaimana bersenggama yang santun pun Quran mengajarkannya.
Ilmu-ilmu geologi mutakhir yang dikagumi saat ini, ternyata sudah ada di Quran ratusan tahun yang lalu. Ayat-ayat tentang: “Apa kamu kira gunung-gunung itu tetap tegak berdiri di tempatnya?“, “Akan Aku (Allah) tumpahkah isi lautan“,
dst, adalah ilmu-ilmu tentang kerak bumi dan tsunami yang saat ini
matian-matian kita klaim sebagai ilmu yang baru dan sebagian belum
terpecahkan.
Singkatnya, Barat yang rajin berijtihad namun kurang
bermujahadah menjadi melenceng dalam menyikapi hidup. Akibatnya
ilmu-ilmu yang tinggi justru merusak dunia, misalnya untuk
mengeksploitasi, menjajah dan untuk berperang. Sebaliknya kita yang
rajin bermujahadah, sangat jarang berijtihad, akhirnya hanya menjadi
arif namun tidak memiliki keahlian atau kecerdasan untuk mengatasi dunia
ini. Banyak kiai, ulama, atau intelektual yang hebat pengetahuan
agamanya, namun tidak dapat membumi dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan
umat. Mereka hanya sangat fasih bertentangan dalam hal apakah ketika
berkutex itu sah wudlunya atau tidak, dibandingkan suntuk menggali
samudera pengetahuan yang maha luas ini. Dua-duanya sangat tidak disukai
Allah. Padahal Ad-Dzariat 56 sudah jelas perintahnya.
Mestinya yang disebut mahasiswa atau murid harus rajin iqro, jihad ber-ijtihad sekaligus ber-mujahadah. Ini laku yang maha penting. Dalam fiolosofi Jawa ada istilah “Ngelmu iku kelakone kanthi laku“.
Kita tidak dapat menguasai ilmu dan memanfaatkannya jika tidak ikut
berenang, berkontemplasi, serta mencari dengan kesungguhan. Dengan kata
lain, yang namanya murid itu mestinya “berkehendak” sesuai asal kata
“murid”. Namun yang terjadi orang bersekolah atau berkuliah, hanya
menyodorkan otak kosong dan rendahnya kehendak untuk menguasai ilmu.
Wajar jika plagiarisme menjadi santapan sehari-hari dunia pendidikan
kita. Wajar lembaga-lembaga bimbingan tes atau pembuat
skripsi/tesis/disertasi sangat laris bak jualan togel. Kalau tidak
percaya, coba tanya seorang remaja yang bernama M. Ainun Nadjib, yang
pada tahun 70-an, ketika usianya baru belasan tahun, sudah mampu
membuatkan puluhan skripsi bagi para calon sarjana yang bodoh dan malas
di Yogyakarta.
Sekarang kembali dan bandingkan dengan ilmuwan
Barat. Mereka mengamalkan Quran dan falsafah Jawa tersebut dengan
baiknya. Mereka rajin “iqro”, untuk membaca fenomena alam dan fenomena
sosial. Di TV swasta dapat dilihat kegigihan ilmuwan Barat, yang hanya
untuk sekadar mempelajari tingkah laku simpanse atau sekelompok
laba-laba, ia rela hidup bertahun-tahun di hutan ! Mana ada ilmuwan kita
yang seperti ini? Bahkan pemenang Nobel untuk pemetaan DNA,
penelitiannya sudah dilakukan sejak tahun 1953 dan baru mendapat Nobel
lima puluh tahun kemudian! Betapa suntuknya mereka mengembangkan ilmu.
Jelas
bahwa para ilmuwan maupun mereka yang memiliki jabatan profesor dan
gelar doktor, mestinya menyadari bahwa gelar atau jabatannya adalah
titik awal untuk berkarya, dan bukan “tujuan”. Karena jika jabatan
profesor hanya sebagai “tujuan”, maka ia diibaratkan akan seperti
sebatang “pohon pisang” saja, yakni “sekali berbuah setelah itu mati“. Seorang profesor mestinya laksana sebuah sumur yang semakin banyak ditimba, semakin agung airnya. Karenanya di luar negeri ada rasa malu jika seorang profesor sudah tidak berkarya lagi di almamaternya. Sebutan “publish or perish”
menggambarkan kesetiaan seorang profesor di luar negeri atas komitmen
ilmiahnya sekaligus komitmen terhadap kejujuran nuraninya.
Di
negara-negara maju kalau seseorang memiliki jabatan profesor, hampir
dapat dipastikan ia adalah ilmuwan yang “kampiun”. Ia sosok yang sangat
“haus” ipteks. Bahkan saking hausnya, banyak profesor di AS dan
Australia, suntuk meneliti di Indonesia secara “khusyuk”.
Sebut
saja para profesor seperti William Liddle dari Ohio State University,
Richard Robison, Clifford Geertz, Herbert Feith, Sidney Jones, Terrence
Hull, Gavin Jones, dst. Bahkan seorang antropolog wanita asal AS (saya
lupa namanya) konon kawin dengan Kepala Suku di Lembah Baliem Papua,
“hanya” agar dirinya lebih mudah meneliti perilaku sosial suku tersebut.
Serpihan contoh ini hanya sekadar menggambarkan betapa hausnya para
profesor akan ilmu pengetahuan. Baginya ada kepuasan batin yang tiada
tara ketika berhasil menganalisis berbagai fenomena sosial dan alam
untuk dijadikan alat memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
Negeri
kita belum sampai ke taraf ini, karena bangsa ini masih bermental gelar
formalitas. Bahkan ibadah haji yang setara dengan rukun Islam lainnya
juga dibawa-bawa sebagai gelar dan disebut dalam setiap kesempatan.
Karenanya dapat dipahami meski jumlah profesor terus bertambah namun
tidak berarti ada rumus linier bahwa mereka akan menyumbangkan pemikiran
dan penemuannya, apalagi memecahkan masalah kemasyarakatan. Wajar jika
kemacetan lalu lintas malahan terus semakin ruwet, banjir tambah parah,
jalan tol longsor meski baru dibangun dua bulan, impor beras dan
produk-produk pertanian ditingkatkan, dst, meski di kota-kota yang
mengalami masalah tersebut merupakan tempat tinggal para profesor. Karya
para profesor tersebut belum begitu nampak, mungkin karena kesibukannya
dalam menata kampusnya, lembaganya, instansinya, dst.
Ijazah Maiyah dan Budaya Akademik Universitas
Dari
sketsa tersebut, maka mestinya Islam harus “diradikalisasi”. Islam
harus beranjak dari sekadar budaya fiqh ke budaya syariah muamallah,
Islam harus beranjak dari tafsiran-tafsiran yang hanya bersifat intuitif
menjadi rasional (ilmiah). Islam harus dirubah dari sekadar disikapi
secara spontanitas menjadi Islam yang organisatoris, dari yang mekanik
menjadi dinamik, dari personal ke yang sistemik. Islam mesti menjadi
agama yang kompet, yakni agama atas agama, yang melintasi “agama”
instink, intelek dan agama wahyu.
Ijazah Maiyah yang digagas dan
direalisasikan di Surabaya 14 Nopember 2011 yang lalu dimaksudkan untuk
memberi penghargaan orang-orang yang sudah mampu melampaui agama atas
agama. Mereka adalah orang-orang yang sangat suntuk ber S1,S2, S3 bahkan
S4 di Universitas Kehidupan. Mereka bukan pemburu secarik kertas
ijazah, apalagi berorientasi pasar, namun sudah berhasil menjadi khalifatullah dalam arti sesungguhnya, yang antara lain ditandai oleh lima hal, yakni:
Pertama, mereka benar dalam memilih nilai-nilai hidup sehingga mereka paham fitrahnya sebagai khalifatullah.
Kedua,
nilai-nilai hidup dan tindakannya sangat otentik karena dituntun oleh
Allah dan hukan oleh iklan atau pengaruh keduniawian lainnya. Mereka
tidak pernah berpikir bahwa kalau menjadi ustadz atau seniman, adalah
seniman atau ustadz yang laku di pasaran. Mereka hanya berpikiran bahwa
hidup itu untuk beribadah, dan kata ibadah itu luas maknanya, terutama
bagaimana dirinya dapat memaksimalkan potensinya agar bermanfaat bagi
alam semesta ini.
Ketiga, semua yang mereka lakukan
dilandasi penuh kesungguhan karena ini bukan saja sekadar pilihan hidup,
namun perintah hidup. Mereka berlandaskan moral atau akhlak dan bukan
kesungguhan karena paksaan syariat atau ancaman dosa-pahala, apalagi
hanya taat karena ada aturan hukum belaka.
Keempat, kesungguhan itu harus dibuktikan dalam waktu yang lama, dan ini berarti harus ada nilai kesetiaan.
Kelima, keikhlasan menjadi kata kunci yang sangat penting, karena apa arti kesungguhan jika tidak bertahan lama dan selalu menggerutu?
Muara
dari kelima hal tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan para penerima
ijazah Maiyah adalah, bahwa mereka melakukan sesuatu bukan karena mereka
senang, namun juga melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak mereka
senangi karena memang ini pilihan yang baik sebagaimana dituntunkan
rasulullah dan Allah SWT.
Dunia persekolahan, khususnya perguruan
tinggi, mestinya mencontoh nilai-nilai yang ditawarkan para penerima
ijazah Maiyah ini. Jika ini disepakati, berarti perguruan tinggi harus
selalu aktif meninjau kelembagaan dan organisasi intern dan isi
kurikulum yang digunakan agar mendukung pertumbuhan masyarakat ilmiah
yang menjunjung kemartabatan manusia. Kurikulum tidak dirancang untuk
menghasilkan lulusan yang seragam dan massal, namun yang mampu menunjang
kreativitas, sikap akademis, kepribadian dan kemandirian. Dalam
perspektif yang lebih luas, tidak terjebak dalam pengkotakan ilmu,
teknologi, seni yang terspesialisasi pada bidang-bidang tertentu secara
kaku, namun juga aktif mengembangkan kajian ipteks interdisipliner; agar
lulusannya memiliki wawasan interdisipliner.
Selanjutnya
mengembangkan budaya keterbukaan, kejujuran dan berorientasi kepada
pencapaian prestasi akademik, menjadi kewajibannya. Budaya akademik
tersebut harus dijiwai nilai-nilai kebenaran yang tidak hanya
berorientasi kepuasan ilmiah-intelektual namun sebagai bagian
tanggungjawab moral akademik terhadap lingkungannya. Dengan kata lain
pengembangkan kebudayaan akademik harus berorientasi kepada kebebasan
akademik yang tidak bertentangan dengan nilai kemartabatan manusia.
Idealisme ini dapat tercapai jika kukuh dalam memegang prinsip “otonomi
universitas”, yakni tidak mudah terseret pada kepentingan pribadi maupun
kepentingan dari luar yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran
akademis, kebenaran ilmiah, nilai-nilai kemartabatan manusia.
Jika
idealisme tersebut dapat diwujudkan maka perguruan tinggi akan tetap
kritis menyuarakan kebenaran akademis, membela kepentingan masyarakat
yang tertindas dan terbelakang, melalui cara-cara yang tidak anarkhis
dan tidak bertentangan dengan moral dan etika. Para civitas akademika
menjunjung tinggi kehormatan universitas, dengan karya-karya yang
bermutu sebagai panggilan jiwa yang sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan spiritualitas.
Untuk menggerakkan dunia ilmiah,
perlu pemikiran tentang penghargaan karya-karya dari civitas akademika,
dengan penghargaan yang sepadan dan proporsional antara kepentingan
akademis dan nonakademis. Artinya perlu pula menerapkan “reward-punishment”
yang jelas dan tegas kepada civitas akademika yang melanggar
nilai-nilai akademis dan mencederai nama universitas dengan tindakan
yang bertentangan dengan moral-etika, dan tidak segan memberi kesempatan
kepada dosen muda yang berpotensi; Dedikasi lebih penting daripada
sekadar brilyan namun rendah loyalitasnya kepada pendidikan, karya
ilmiah dan kepada masyarakat.
Untuk menunjang idealisme tersebut
lembaga penelitian harus dikembangkan secara profesional sebagai simbol
ilmiah sebuah universitas, dan harus berorientasi kepada kebenaran
ilmiah yang inovatif dan berpihak kepada nilai-nilai kemartabatan
manusia dan peradaban. Lembaga penelitian tidak hanya sekadar memberikan
solusi praktis kepada masyarakat, bangsa dan negara, namun juga
pengembangan teori, konsep baru dan memperluas kerjasama dengan
institusi lain yang ditujukan bagi kemartabatan umat manusia.
Untuk mengembangkan budaya meneliti, ada proses yang rutin dalam pengembangan budaya “curiosity“,
semangat akademis, semangat kerjasama, ketekunan, kedisiplinan,
tanggungjawab ilmiah, dan daya imajinasi yang tinggi, baik lewat lomba,
seminar, lokakarya, pelatihan, “peer-group“, dan sebagainya
yang tidak terlalu tergantung kepada kelengkapan fasilitas. Untuk itu
mental untuk maju yang dikedepankan. Jarak sosial antara
profesor-doktor, pejabat, dengan dosen-mahasiswa harus diperdekat agar
terjadi budaya dialog-kritis untuk tidak menghambat pengembangan ipteks.
Kehormatan civitas akademika (profesor-doktor-dosen-pejabat) ditentukan
oleh bobot intelektualitas, komitmen dan kejujuran di segala bidang
kehidupan. Menghindarkan civitas akademika dan universitas sebagai
penopang kekuatan tertentu, namun terus mendorong perguruan tinggi
sebagai penopang peradaban dan nilai-nilai kemartabatan.
oleh
Bet365 video games noob - Vimeo
BalasHapusWatch the videos in HD. Enjoy the most recent videos of Bet365 by David Chapman, Vimeo's resident production show. Discover and Share. The youtube to mp3?trackid=sp-006 Premier League